Kamis, 10 Juli 2008

Dan Tuhan pun ikut bermain dadu


Udara malam di kota saya begitu dingin, saya dan seorang kawan lama saya memutuskan untuk duduk-duduk sambil minum kopi di suatu tempat. Di tempat itu tersedia beberapa permainan untuk menemani kami mium kopi. Awalnya kami akan berceloteh mengenai suatu makalah tentang Sejarah filsafat Islam dan pemikiran Islam serta isu-isu kontemporer. Tapi karena di tempat itu tidak ada penerangan yang dapat memungkinkan untuk membaca maka kita memutuskan untuk mengambil permainan itu.

Ada dua permainan yang disediakan pertama adalah catur dan kedua adalah ular tangga. Sebelum kami menuju tempat ini kami lama berbincang mengenai pluralism maka kami memutuskan mengambil permainan ular tangga karena setiap kotak di papan itu menyediakan warna yang berbeda-beda hal ini berbeda dengan papan catur yang hanya menyediakan dua warna hitam dan putih dan itu cukup membosankan. Selain itu juga karena kami tidak layak untuk dikatakan bisa bermain catur.

Sebelum permainan di mulai kami bersepakat untuk melakukan dekonstruksi permainan. Pertama ialah kita memulai permainan dari angka 100 menuju angka 1 tidak seperti biasanya permainan ular tangga di mulai dari angka 1 menuju 100. Artinya bahwa hidup kita dimulai dari segala sesuatu yang beraneka rupa dan hanya akan menuju pada yang satu. Yang kedua adalah jika permainan ular tangga biasa, siapa yang mendapat mata dadu 6 maka mempunyai privilege yaitu mendapatkan kesempatan mengundi dadu sekali lagi namun dalam aturan permainan kami justru yang mendapatkan privilege adalah jika kita mendapatkan mata dadu 1. Karena jika kita mendapatkan mata dadu enam dan mendapat privilege maka akan berbenturan dengan asas keadilan yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Ketiga ialah jika medapatkan ular maka akan mendapatkan bonus naik ke strata yang lebih tinggi sesuai aturan yang telah ditentukan namun jika bertemu dengan tangga maka akan membuat turun/ jatuh sesuai strata yang telah di tentukan, jika dalam permainan normal (dalam pandangan mainstream) mendapatkan tangga akan naik dan mendapatkan ular maka akan turun namun logika ini akan berlawanan dengan peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga.

Kemudian kami pun memulai permainan, pada awalnya saya sempat tertinggal jauh dari teman saya, saya pernah hampir menyalipnya( saya mendapatkan kesempatan melangkah dua kali namun saya bilang tiga karena saya akan mendapatkan ular dan secara otomatis saya naik) namun saya mengurungkannya dan mengakui bahwa saya hanya mendapat mata dadu 2 kemudian saya katakan pada teman saya bahwa kamu adalah gambaran masyarakat Indonesia mudah di tipu dan kurang kritis. Untung teman saya tidak mengatakan saya adalah gambaran pejabat Negara Indonesia yang mudah memanipulasi angka. Disela-sela permainan ular tangga, kami sesekali menyeruput mocca late dengan didampingi pisang coklat (sebenarnya kami tidak memesan pisang coklat tapi kentang goreng) namun pelayan salah membaca pesanan kami.

Permainanpun masih berlanjut, karena kita bermain diatas meja bambu yang tidak rata kadang dadu berdiri tak sempurna sehingga dapat di baca dari dua arah, arah saya dan arah teman lamaku ini. Sehingga kita menggunakan pendekatan hermeneutika. Yaitu menempatkan pengundi dadu, dadu, dan pembaca mata dadu. Sehingga kebenaran di serahkan pada pengundi dadu, kebetulan karena saya lah yang berposisi sebagai pemain dan pengundi dadu maka saya memiliki otoritas dalam pembacaan mata dadu. kadang kita jatuh tertimpa tangga namun kadang kita terbang bersama ular ajaib. Saat mulai mendekati strata tertinggi dalam permainana ular tangga kami selalu jatuh tertimpa tangga (seperti terjebak dalam vicious circle). Di dalam strata tertinggi di permainaan ular tangga ini terdapat dua tangga yang akan membuat kita terjatuh. Kita hampir putus asa untuk melanjutkan permainaan karena kita selalu jatuh dan jatuh. Mungkin inilah yang dirasakan orang-orang yang bunuh diri karena tekanan hidup. Akhirnya teman saya punya ide untuk berdoa, bahwa dalam setiap kebuntuan maka harus kembali pada Tuhan kembali pada sesuatu diluar kekuatan manusia.

Saat sudah mendekati strata tertinggi teman saya lupa membaca doa dan akhirnya mendapatkan mata dadu enam dan turun dengan tangga menuju hampir setengah halaman ular tangga(dia anggap masih jauh jadi belum perlu berdoa). Begitupun juga saya masih sering jatuh tertimpa tangga, dan akhirnya kami pun mampu naik kembali ke strata paling tinggi dalam permainan ini, sebelum menghadapi kotak yangdapat menurunkan kita, kita pun berdoa dan sesuatu yang luar biasa kita mampu melewati kotak maut tersebut. Dan teman saya berdoa kembali untuk dapat mencapai finish (sebenarnya dalam papan ular tangga tertulis kata : mulai). Karena dia membutuhkan mata dadu 2 untuk mencapai finish dan diapun berdoa meminta mata dadu 2 akhirnya benar yang keluar adalah mata dadu 2 dan diapun memenangkan permainan itu. Kemudian saya ikut berdoa karena tinggal giliran saya, saya membutuhkan angka 6 namun saya tidak menyertakan angka enam dalam doa saya karena saya pikir Tuhan maha Tahu. Akhirnya yang keluarpun angka enam dan saya dapat sampai finish. Walaupun harus kalah.

Menarik bermain ular tangga ini karena kita dapat menghargai pluralisme, berbeda-beda agama tetapi pada hakikatnya menuju pada yang satu, kita belajar melakukan pembacaan hermeneutik, melakukan dekonstruksi terhadap aturan, menggunakan local wisdom dalam perjalanan hidup salah satu bentuknya ialah menggunakan peribahasa bijak, belajar tentang kesabaran dan kejujuran, dan yang paling penting bahwa ada kesadaran mengenai kekuatan diluar manusia sehingga dalam hidup memerlukan doa.

Untuk teman lama saya semoga kita dapat bertemu kembali dan bermain dalam pikiran-pikiran. Seperti pembicaraan kita dulu saat masih duduk di bangku SMA bahwa masalah tidak harus untuk langsung dihadapi, namun juga tidak langsung untuk dihindari namun kita harus keluar dari masalah dan memproyeksikannya dari luar baru memutuskan apakah kita harus lari atau menyelami masalah. Melihat permainan ular tangga saya teringat buku Gunawan Muhammad yang berjudul Tuhan dan hal-hal yang tak selesai. Jika belajar dari permainan ular tangga saya berharap di suatu waktu dapat menulis buku berjudul Tuhan dan segala sesuatu yang harus cepat-cepat di selesaikan.

Selasa, 08 Juli 2008

Madina, majalah alternatif

Bermula ketika beberapa bulan terakhir, saya harus pulang ke kampung halaman di Purwokerto (Sebuah kota kecil di Jawa Tengah). Disela-sela waktu saya iseng mencari bacaan-bacaan di perpustakaan pribadi orang tua saya. Saya menemukan beberapa eksemplar majalah-majalah saya diwaktu kecil seperti majalah bobo kemudian majalah remaja seperti HAI dan majalah-majalah favorit pada saat saya duduk di bangku SMA yaitu SABILI. saya membaca ulang majalah yang satu ini karena cover depannya cukup fantastik “tolak presiden salib” lalu ada lagi judul “Strategi salib kuasai pemilu”. Ketika memegang majalah ini saya teringat pesan salah satu dosen saya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang menyarankan membaca majalah ini, beliau mengatakan” sekali-kali bacalah sabili jangan hanya baca kompas dan tempo saja” mungkin suatu saat saya harus mengatakan pada umat Islam”yang mengaku paling beriman” jangan hanya baca Sabili sekali-kali bacalah tempo atau kompas. Majalah seperti sabili Dari judul-judulnya saja sangat provokatif dan berperan besar mempengaruhi Psikologi pembacanya dalam memandang suatu masalah, selalu dikotomik. Benar dan salah, mukmin dan kafir dan sebagainya.

Selain majalah-majalah tersebut saya juga membaca majalah-majalah koleksi orang tua seperti As-shunnah, Al- Furqon, As-Silm, Umi dan gerimis yang menjadi majalah mayoritas di rak buku milik orang tua saya. Tapi isinya tak jauh beda dari majalah yang telah disebutkan diatas. Masih memandang segalanya dikotomik dan cenderung selalu menyalahkan. Kemudian di kota Purwokerto ini saya jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Saya melihat majalah madina, (sebenarnya bukan yang pertama kali melihat tapi pertama kali melihat dengan membawa uang yang cukup untuk membelinya). Dan akhirnya saya memutuskan membelinya, saya membeli madina edisi bulan Juni dan saya melewatkan 5 edisi sebelumnya.

Saya tertarik membeli madina karena cover depannya memuat 25 tokoh Islam Damai. Karena isu mengenai kekerasaan atas nama agama mulai muncul kembali di Negara kita Indonesia. Ini menjadi media alternatif di tengah menjamurnya media-media Islam yang antagonistik terhadap modernitas. Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari majalah madina ini :

Kelebihannya pertama, Lebih menyejukan, karena media ini tidak memprovokasi pembaca untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua, halaman full color, sehingga pembaca tidak hanya menikmati tulisan-tulisannya tetapi juga dapat menikmati gambar-gambar yang disajikan. Ketiga, memberikan perspektif berbeda terhadap suatu masalah. Misalnya dalam edisi bulan Juni 2008 madina mencoba melihat Isu Israel dengan cara pandang berbeda. Madina menyajikan wawancara eksklusif dengan Rabi Yisroel Dovid Weiss yang menganggap bahwa Yahudi Religius adalah anti Zionis. Hal ini menjadi cara pandang baru ditengah-tengah pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel Palestina adalah konflik para fundamentalis agama dan pandangan yang menganggap konflik Israel-Palestina adalah konflik agama antara Islam dan Yahudi. Pandangan baru ini meruntuhkan argumen yang men-generalisasikan orang yahudi itu memusuhi Islam. Keempat ialah berorientasi pada penyebaran paham pluralisme, paham ini diperlukan dalam dunia multikultural seperti saat ini. Kelima, tulisannya cukup ringan sehingga mudah di konsumsi khalayak ramai. Keenam, ini yang paling penting, membela Islam dengan cara yang santun.

Tak ada gading yang tak retak, selain kelebihan-kelebihan diatas majalah Madina ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, harganya yang cukup mahal untuk seorang mahasiswa. Kedua, dalam hal iklan masih relatif sedikit sehingga masih dipertanyakan sustainability majalah ini. Ketiga, minimnya kolaborasi antara fakta sosial dan teks-teks Al-Quran dan Al hadits. Keempat, minimnya ruang untuk opini.

Terlepas dari segala kekurangan, media ini pantas untuk diapresiasi dan dijadikan sebagai media alternatif di tengah hiruk pikuk media yang menawarkan formalisasi Syariat dan konflik atas nama agama. Dan media yang satu ini layak untuk dibaca.