Senin, 27 Oktober 2008

heteroglosia

Untuk kang Fahd

Mungkin aku masih terlalu muda untuk memetik buah peristiwa dan menjadikannya sebatang sajak atau seikat puisi. Aku hanya memungut tiap keping kata yang terucap lamat dari celah bibirmu dan membakarnya hingga gosong di kepalaku.

Tanpa sepengetahuanmu
aku ingin bersulang dengan dua cangkir kopi dan kita berbagi rokok, aku sebatang dan kau sebatang, apakah kau tau ada cinta dalam sebatang rokok? Ada senggama antara tembakau dan api yang mampu melahirkan anak jadah bernama asap. Aku ingin melihat sebatang rokok bersemayam di sela-sela bibirmu, karena ia akan membangunkan kesadaran tentang kefanaan hidup, bahwa hidup senihil asap. Melesat. Hilang begitu saja.

Suatu ketika aku pernah mengutuki senja (yang entah, akhir-akhir ini sering namanya kucuri untuk dijadikan puisi), padanya aku pernah bertanya mengapa ia rela menjadi dinding pemisah waktu, siang dan malam, terang dan gelap ada dan tiada. Senja yang kukutuki itu hanya diam seribu puisi. Hening. Dan tetap tenang memamerkan cahayanya yang bagiku berwarna seperti air seni, pikiranku melenting-lenting dan terkapar sadar, bahwa setiap batas ada kehidupannya masing-masing, seperti hitam dan putih selalu ada batas bernama abu-abu, goa dan dunia luar kadang berhias dengan batas bernama jejaring laba-laba. setiap batas mampu mengurai artinya masing-masing, begitupun senja. Keterplantingan pikiranku telah membawaku pada kesadaran bahwa senja bukanlah dinding pemisah waktu, tetapi senja adalah waktu itu sendiri.

Keringkan dulu rambutmu
lalu berceritalah tentang Tuhan, cinta dan kemanusiaan. Bagimu tiga hal ini apakah sehimpun kata atau seikat kata? Terkadang aku gemas, pada tingkah polah sekawanan manusia yang mendaku sebagai sekutu Tuhan tapi pada tiap langkahnya mengubur cinta dan kemanusiaan.

Kali ini tentang jarak membincang kekasih yang jauh di mata tapi (mungkin) dekat di hati adalah hal panjang-rumit yang kadang kala harus kita urai. Apakah bisa kita membuat rumus seperti ini ( 1 hembusan nafas = jarak – 1 cm) sehingga semakin lama terpisah pada hakikatnya adalah semakin mendekat, semkin tak berjarak, semakin leluasa tubuh merengkuh. apakah karena jarak tubuhmu pernah berkeringat resah lalu seluruh pori-porimu terbenam?

Kuberi kau sepotong puisi berselai kata
nafas retak/pada celahnya tersembul harapan/bukan harapan kecil dalam sekotak luka/melainkan harapan yang mengabadi/harapan yang mengakar sunyi/ pada tebing-tebing sejarah/pada tubir-tubir waktu/

tulislah setiap harapan/ karena dalam tulisan ada keabadiaan/jangan hanya sekedar terucap/ karena apa yang terucap hakikatnya adalah senyap/

Mungkin ada saat aku akan menjajakan puisi-puisiku lagi

Kamis, 16 Oktober 2008

Lagi-lagi cinta tak harus buta


Cinta
Cinta tak harus buta
Tak selamanya buta

Tapi juga
Cinta tak harus melihat
Tak selamanya melihat
Diambil dari “Harapan kecil dalam sekotak luka” karya Fajar RA

Membaca salah satu fragmen perjalanan cinta dari seorang kawan lama bernama Aulia El Hakim yang ia dedahkan dalam Anguish dalam cinta buta, saya menemukan kejujuran yang terdalam dari seorang Aulia El Hakim. Anguish dalam cinta buta ditulis untuk mengungkapkan perasaan dan sekaligus sebagai sanggahan terhadap tulisan dan pernyataan saya tentang cinta tak harus buta.
Anguish dalam cinta buta, hadir dalam persepektif posmo dengan melakukan kritik terhadap kesadaran modern, baginya kesadaran modern telah membentuk takhayul jenis baru. Perjalanan Aulia mengikuti Laju Honda Jazz R 9191 AH (dengan pemgemudi yang masih seperti dulu, rambut lurus dan berkacamata hitam) dianggapnya sebagai suatu yang irasional tetapi nikmat. Baginya apa yang ia lakukan adalah sebentuk Anguish (kegetiran) yang diartikan oleh sarte bahwa Anguish bukanlah sebuah ketakutan terhadap obyek eksternal, namun sebuah kesadaran mengenai perilaku manusia yang tidak dapat diprediksi, bukan juga takhayul (mengkhayal) yang dihasilkan kesadaran modern.

pada Aulia saya salut dengan tradisi permenungannya akan cinta buta, ada pendalaman rasa, dan tak berjarak dari persoalan. Pemilik mobil Honda jazz telah sedemikian rupa menghipnotis perasaan beserta seperangkat jalan pikiran saudara tercinta Aulia. Perasaan-perasaan yang dialami Aulia ini dijadikan landasan untuk meyakini cinta itu buta dan sebagai alat untuk mengkritisi yang terkadang dengan nada sinis terhadap pandangan-pandangan yang berbeda (termasuk pandangan bahwa cinta tak harus buta) khususnya yang mendekati cinta dengan pendekatan rasional.

Anggapan Aulia mengenai cinta, bahwasannya cinta itu buta tak dapat disalahkan namun pandangan Aulia mengenai pendekatan rasional akan cinta adalah hal buruk tak serta merta harus dibenarkan. Dalam hal ini stance saya masih tetap bahwa cinta tak harus buta. Dalam pandangan saya cinta menari diantara tarik ulur rasa dan logika, pada saat tertentu dapat melebur dalam persekutuan perasaan dan rasionalitas. Sebenarnya memandang cinta itu buta dan cinta itu dapat dirasionalkan adalah sama, sama-sama berada dalam kutub yang ekstrem dalam memandang cinta. Cinta tak harus buta berarti juga cinta tak harus rasional. Wilayah abu-abu sebagai wilayah kerja cinta tak harus buta. Posisi pandangan cinta tak harus buta ialah tetap membiarkan segala pandangan tentang cinta (rasa atau logika) tetap tumbuh tanpa harus mengalienasikan salah satunya. Mengulang pertanyaaan saudara Aulia diakhir tulisan tentang anguish dalam cinta buta,”bagaiman pren, tak masalahkan cinta itu buta ?” maka saya menjawab tak masalah, tapi tetap tak harus.

Sehingga pandangan Aulia yang secara langsung maupun tidak langsung mengkategorikan cinta tak harus buta ke dalam pandangan rasional ialah kurang tepat. Disamping rasa salut saya terhadap narasi Aulia tentang proses “pembuntutan” Honda Jazz yang terasa cukup dalam, ada hal yang cukup disayangkan, ialah ketika ia menghentikan pembuntutan tanpa melakukan proses pendekatan selanjutnya. Disini Aulia terlihat seperti melakukan onani rasa, hanya sekejap dan dinikmati sendiri.

Saya menaruh curiga jangan-jangan cinta butamu adalah pengaruh pukulan bertubi-tubi yang dilesakkan ke wajahmu?