Minggu, 16 November 2008

CAT IN MY MIND

[Celoteh untuk Cat In My Eyes: buku karya teman yang layak untuk di beli]



“Ngiau…ngiau…ngiau”. Eiits…ini bukan suara Sutardji Calzoum Bachri ketika membacakan puisinya. Suara ini datang dari luar kamarku yang kututup rapat-rapat. Kubuka pintu kamar kulihat seekor kucing cantik berwarna tiga rupa. Tapi Astaga!!! matanya hilang satu. Kuambil sisa makan malam dan kuberikan ke kucing cantik bermata satu itu. Pintu kututup kembali.

Cat In My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa. Sebuah buku yang ditulis oleh Fahd Djibran seorang teman kuliah, kawan diskusi, dan [sepertinya] guru menulis bagiku. Buku ini benarbenar memaksaku untuk bertanya sebelum membacanya.

Bermula

malammalam aku datang ke salah satu toko buku di Yogya. Kucaricari buku bersampul biru dengan kucing hitam mematung di depannya. Langsung saja jari tanganku menari di atas keyboard computer di toko buku itu. Cat In My Eyes, Fahd Dijbran, Gagas Media, B3.05.00 stock 1. Sesegera mungkin aku menuju rak buku B3.05.00 ini, tapi masih saja aku tak menemukannya. Dengan raguragu aku tanyakan ke salah satu petugas toko buku, kemudian di carikan olehnya, dicaridicari dan dicari masih saja kucing yang satu ini belum ketemu. Petugas toko buku ini mengajak petugas yang lain untuk mencarikannya. Astaga!!! Baru kali ini aku mencari buku dibantu oleh dua petugas. Dicaricari dan dicari masih tetap tak ketemu. Saat itu sempat aku berpikir nakal “Janganjangan kucingnya Fahd yang tinggal satu di toko buku itu dicuri oleh Chairil Anwar kecil”. Kemudian aku dikagetkan oleh suara petugas toko tersebut. “maaf mas, Cat In My Eyes nya habis, kita sedang pesan, mungkin minggu depan sudah ada”. Karena malam telah begitu menghitam maka kuputuskan pulang saja dan meneruskan petualangan mencari kucing lagi.esok, di tempat lain. Cat still In My Mind.

Kemudian

Hari ke dua pencarianku. Aku sms si penulis “kang, aku dh ktko buku…tapi kehbsan. Dimn lg ak hrs mendptknnya?”. “Cb ke…sepertinya disna msh ada”. Balasnya. Langsung saja aku menuju ke toko buku tersebut, langsung cek ke computer, Cat In My Eyes, stock 0. Masih belum yakin, kutanyakan ke petugas. Ternyata habis. Kemudian aku meluncur ketoko buku yang lain lagi, kutanya petugas. Akhirnya ditunjukanlah keberadaan si kucing yang sedang memagut di rak buku. Sebelum membacanya, Cat In My Eyes benarbenar membuatku bertanya kesana kemari.

Setelah membacanya

Dalam ngiau Cat In My Eyes saya menemukan dua Fahd [bahkan lebih]. Fahd remaja dan Fahd Dewasa mungkin masih ada lagi, Fahd abuabu. Dia bisa saja tetap di udara [di dunia antara] tapi terkadang juga menjadi bagian sisi koin yang terlempar. Fahd remaja dan Fahd dewasa bukanlah kategori mutlak, hanya sekedar untuk memudahkan. Memutlakan kategori adalah mereduksi realitas karena bisa jadi yang remaja memiliki unsur kedewasaan, dan yang dewasa itu memiliki unsur remaja. Kategori ini hanya untuk membagi detik dan detak perjalanannya.

Fahd remaja terlukis manis pada karyakaryanya seperti Tubuh, A Cat In My Eyes,Everybody’s Happy in his own way, A Cat In Your Eyes, dan Dendam. Dan Fahd Dewasa tergambar jelas pada labirin, Matamu yag sepi, Fragmen Malam, Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan, 5 untuk bunda, Gaia yang sakit, Hujan, Rindu, Skizofrenia, Keberag[a]aman, Satori. Dan bagi yang tak tersebut masuk kedalam Kategori Fahd abuabu.

Dalam Rindu, Fahd benarbenar memberi kejutan, hal-hal sederhana seperti mengucap “kangen” ternyata melalui proses panjang dalam otak. Tapi saya kecewa ketika di bawahnya kulihat footnote mengenai apa itu limbik dan amigdala. Sebagai seorang pembaca saya merasa dihakimi untuk langsung mengetahui maksud dari tulisan itu seketika itu juga [seperti dipaksa untuk cepat orgasme], pembaca seakan-akan tak diberi ruang untuk merenung atau mencari.
Tulisan yang paling membuat saya kasmaran dengan buku ini ialah membencimu dan cinta, masa lalu, dan sepotong kue bolu. Saya kutip membencimu :

Serupa cuaca, aku mencintaimu, selalu terikat waktu Serupa udara, aku menyayangimu, selalu terikat ruang Serupa hujan, aku membencimu, sewaktuwaktu

Benarbenar memikat rasa.

Selain rasa, Cat In My Eyes juga membuat pikiranku menggelinjang, ketika membaca Skizofrenia, keber[a]agaman, satori dan labirin. Salut. Nilai lebih dari buku ini ialah telah menghadirkan sesuatu yang lain, Canda Spiritual saya menyebutnya. Dalam beberapa pengajian agama yang pernah saya ikuti sering terdengar dogma bahwa bahwa agama jangan untuk bercanda, atau untuk bahan guyonan, tapi membaca tulisan tentang kemanakah kau siang tadi, Tuhan?, Percakapan yang harus [terus menerus]tertunda, serta pertanyaan untuk J, membuat saya yakin bahwa beriman itu indah dan semakin yakin bahwa bertanya tak membuat orang berdosa.

Pada Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan, tulisan ini menyentak kesadaran, namun lagilagi aku harus kecewa, ada yang mengganjal ketika Fahd mengutip seperti apa yang tertera di kitab suci, saya menjadi merasa ini sekedar tese-tese teologis bukan lagi karya sastra. Sebenarnya tak masalah mengambil inspirasi dari kitab suci tapi alangkah baiknya ketika menghadirkannya dengan bahasa yang unik dan khas. Karena apa yang tertera di kitab suci telah menjadi pengetahuan umum.

Skizofrenia juga telah melemparku kedalam ruang sunyi menjadi si gila. Benarbenar melarutkan. Tapi di Skizofrenia juga, Fahd tak bisa lepas dari oposisi biner yang ia tentang, seperti masih membagi normal-dan ketidaknormalan, miskin-kaya, gila-waras, dalam hal-hal itu, tak kutemukan sebuah dunia fusi sinergis yang harmonis.

Satu hal yang perlu dan menarik untuk diperhatikan adalah adanya kesamaan antara kelahiran Fahd dengan terbitnya buku Cat In My Eyes yaitu samasama lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.

Setelah membeli [dengan Harga Eceran Tertinggi] dan membaca

Ada rasa senang, puas dan sesal. Senang karena seorang kawan masih berkarya, puas karena isinya begitu menggairahkan, menyentuh, memikat dan sampulnya keren, Sesal, karena aku membelinya, mengapa tidak aku curi saja buku ini ketika di toko buku, kalaupun aku harus tertangkap tangan oleh satpam dan ia mengacungkan pentungan ke arahku aku punya jawabannya: Salam, Haleluya, Om Shanti Shanti Om, Shalom…

“Ngiau…ngiau…ngiau”. Eiits…ini bukan suara kucing bermata satu. Suara ini datang dari bukunya Fahd Djibran yang meminta ditaruh di tempat yang layak karena takut terinjak. Diamdiam kuikuti Goenawan Muhammad pada album MIGUEL DE COVAROBIAS Akan kuletakan sintalmu//pada tubir meja: //telanjang //yang meminta.

Masih tergeletak purnama malam ini

Masih saja ia sendiri menggoda, mengaduk-aduk hasratku untuk mengadah menampung sinarnya yang keperak-perakan. Demikian terang seterang kemarau yang membuat kerongkonganku meranggas hingga haus menjadi pilihan. Aku duduk diam terpukau pada bulat wajahnya, di antara titik pergantian menit menuju jam yang baru.

Aku menimbang-nimbang, daripada aku sibuk memotong kuku lebih baik kubuat saja puisi dan berharap suatu hari nanti ia akan menjelma rintik hujan yang jatuh dekat jendela kamarmu mengabarkan apa saja yang berdetak di dadaku. Dan menjadi arus sungai yang mengalir di sebelah utara rumahmu, membawa pesan betapa kerontangnya hari-hariku tanpa linang airmata bahagiamu. Akupun berharap- puisipuisiku menjelma angin, dengan desahnya ia mampu melukis segala inginku dalam ingatanmu.

Butuh berapa warna untuk melukis wajah bulan? Aku hendak bertanya padamu. Sekedar mengingatkanmu. Fajar akan hadir memberi terang pada malam yang pekat, dan mengganti sinar bulan yang keperakperakan dengan warna merah matahari. Segalanya akan berganti. Segalanya akan berganti.

Aku, disini di sempit waktu. Masih saja mencaricari jawab dari Tanya-tanya yang tercipta, dan mencipta Tanya-tanya dari apa yang tak terjawab. Masih saja seperti dulu, ketika malam larut aku sibuk mempersiapkan segala keperluan, karena tiap pagi aku akan mengusungmu menjadi embun pada dahan sajak-sajakku.
Apakah kau juga melihat purnama itu kekasih?

Senin, 27 Oktober 2008

heteroglosia

Untuk kang Fahd

Mungkin aku masih terlalu muda untuk memetik buah peristiwa dan menjadikannya sebatang sajak atau seikat puisi. Aku hanya memungut tiap keping kata yang terucap lamat dari celah bibirmu dan membakarnya hingga gosong di kepalaku.

Tanpa sepengetahuanmu
aku ingin bersulang dengan dua cangkir kopi dan kita berbagi rokok, aku sebatang dan kau sebatang, apakah kau tau ada cinta dalam sebatang rokok? Ada senggama antara tembakau dan api yang mampu melahirkan anak jadah bernama asap. Aku ingin melihat sebatang rokok bersemayam di sela-sela bibirmu, karena ia akan membangunkan kesadaran tentang kefanaan hidup, bahwa hidup senihil asap. Melesat. Hilang begitu saja.

Suatu ketika aku pernah mengutuki senja (yang entah, akhir-akhir ini sering namanya kucuri untuk dijadikan puisi), padanya aku pernah bertanya mengapa ia rela menjadi dinding pemisah waktu, siang dan malam, terang dan gelap ada dan tiada. Senja yang kukutuki itu hanya diam seribu puisi. Hening. Dan tetap tenang memamerkan cahayanya yang bagiku berwarna seperti air seni, pikiranku melenting-lenting dan terkapar sadar, bahwa setiap batas ada kehidupannya masing-masing, seperti hitam dan putih selalu ada batas bernama abu-abu, goa dan dunia luar kadang berhias dengan batas bernama jejaring laba-laba. setiap batas mampu mengurai artinya masing-masing, begitupun senja. Keterplantingan pikiranku telah membawaku pada kesadaran bahwa senja bukanlah dinding pemisah waktu, tetapi senja adalah waktu itu sendiri.

Keringkan dulu rambutmu
lalu berceritalah tentang Tuhan, cinta dan kemanusiaan. Bagimu tiga hal ini apakah sehimpun kata atau seikat kata? Terkadang aku gemas, pada tingkah polah sekawanan manusia yang mendaku sebagai sekutu Tuhan tapi pada tiap langkahnya mengubur cinta dan kemanusiaan.

Kali ini tentang jarak membincang kekasih yang jauh di mata tapi (mungkin) dekat di hati adalah hal panjang-rumit yang kadang kala harus kita urai. Apakah bisa kita membuat rumus seperti ini ( 1 hembusan nafas = jarak – 1 cm) sehingga semakin lama terpisah pada hakikatnya adalah semakin mendekat, semkin tak berjarak, semakin leluasa tubuh merengkuh. apakah karena jarak tubuhmu pernah berkeringat resah lalu seluruh pori-porimu terbenam?

Kuberi kau sepotong puisi berselai kata
nafas retak/pada celahnya tersembul harapan/bukan harapan kecil dalam sekotak luka/melainkan harapan yang mengabadi/harapan yang mengakar sunyi/ pada tebing-tebing sejarah/pada tubir-tubir waktu/

tulislah setiap harapan/ karena dalam tulisan ada keabadiaan/jangan hanya sekedar terucap/ karena apa yang terucap hakikatnya adalah senyap/

Mungkin ada saat aku akan menjajakan puisi-puisiku lagi

Kamis, 16 Oktober 2008

Lagi-lagi cinta tak harus buta


Cinta
Cinta tak harus buta
Tak selamanya buta

Tapi juga
Cinta tak harus melihat
Tak selamanya melihat
Diambil dari “Harapan kecil dalam sekotak luka” karya Fajar RA

Membaca salah satu fragmen perjalanan cinta dari seorang kawan lama bernama Aulia El Hakim yang ia dedahkan dalam Anguish dalam cinta buta, saya menemukan kejujuran yang terdalam dari seorang Aulia El Hakim. Anguish dalam cinta buta ditulis untuk mengungkapkan perasaan dan sekaligus sebagai sanggahan terhadap tulisan dan pernyataan saya tentang cinta tak harus buta.
Anguish dalam cinta buta, hadir dalam persepektif posmo dengan melakukan kritik terhadap kesadaran modern, baginya kesadaran modern telah membentuk takhayul jenis baru. Perjalanan Aulia mengikuti Laju Honda Jazz R 9191 AH (dengan pemgemudi yang masih seperti dulu, rambut lurus dan berkacamata hitam) dianggapnya sebagai suatu yang irasional tetapi nikmat. Baginya apa yang ia lakukan adalah sebentuk Anguish (kegetiran) yang diartikan oleh sarte bahwa Anguish bukanlah sebuah ketakutan terhadap obyek eksternal, namun sebuah kesadaran mengenai perilaku manusia yang tidak dapat diprediksi, bukan juga takhayul (mengkhayal) yang dihasilkan kesadaran modern.

pada Aulia saya salut dengan tradisi permenungannya akan cinta buta, ada pendalaman rasa, dan tak berjarak dari persoalan. Pemilik mobil Honda jazz telah sedemikian rupa menghipnotis perasaan beserta seperangkat jalan pikiran saudara tercinta Aulia. Perasaan-perasaan yang dialami Aulia ini dijadikan landasan untuk meyakini cinta itu buta dan sebagai alat untuk mengkritisi yang terkadang dengan nada sinis terhadap pandangan-pandangan yang berbeda (termasuk pandangan bahwa cinta tak harus buta) khususnya yang mendekati cinta dengan pendekatan rasional.

Anggapan Aulia mengenai cinta, bahwasannya cinta itu buta tak dapat disalahkan namun pandangan Aulia mengenai pendekatan rasional akan cinta adalah hal buruk tak serta merta harus dibenarkan. Dalam hal ini stance saya masih tetap bahwa cinta tak harus buta. Dalam pandangan saya cinta menari diantara tarik ulur rasa dan logika, pada saat tertentu dapat melebur dalam persekutuan perasaan dan rasionalitas. Sebenarnya memandang cinta itu buta dan cinta itu dapat dirasionalkan adalah sama, sama-sama berada dalam kutub yang ekstrem dalam memandang cinta. Cinta tak harus buta berarti juga cinta tak harus rasional. Wilayah abu-abu sebagai wilayah kerja cinta tak harus buta. Posisi pandangan cinta tak harus buta ialah tetap membiarkan segala pandangan tentang cinta (rasa atau logika) tetap tumbuh tanpa harus mengalienasikan salah satunya. Mengulang pertanyaaan saudara Aulia diakhir tulisan tentang anguish dalam cinta buta,”bagaiman pren, tak masalahkan cinta itu buta ?” maka saya menjawab tak masalah, tapi tetap tak harus.

Sehingga pandangan Aulia yang secara langsung maupun tidak langsung mengkategorikan cinta tak harus buta ke dalam pandangan rasional ialah kurang tepat. Disamping rasa salut saya terhadap narasi Aulia tentang proses “pembuntutan” Honda Jazz yang terasa cukup dalam, ada hal yang cukup disayangkan, ialah ketika ia menghentikan pembuntutan tanpa melakukan proses pendekatan selanjutnya. Disini Aulia terlihat seperti melakukan onani rasa, hanya sekejap dan dinikmati sendiri.

Saya menaruh curiga jangan-jangan cinta butamu adalah pengaruh pukulan bertubi-tubi yang dilesakkan ke wajahmu?

Senin, 04 Agustus 2008

Beragama di tengah lautan prasangka


“wahai orang-orang beriman, jauhilah banyak berprasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” (Q. 49:12)

Satu minggu yang lalu tepatnya hari jum’at 25 juli, saya melaksanakan sholat Jum’at di salah satu masjid di Yogyakarta. Ada yang menarik di masjid yang bisa dikatakan sederhana itu. Khutbah Jum’at pada waktu itu membahas mengenai
keberadaan Islam Liberal. Perlu diketahui bahwa sebelum saya berangkat ke masjid saya sempat mendengar salah satu lagu milik the changcuters yang berjudul racun dunia. Kalau boleh merangkum dengan kalimat kurang dari lima kata maka saya menyimpulkan bahwa isi dari khutbah itu adalah Islam Liberal : racun dunia.
Mengapa islam liberal adalah racun dunia ? karena menurut pengkhutbah, islam liberal mengusung penyakit Sepilis yaitu sekulerisme, pluralism dan liberalism yang berbahaya bagi umat islam. Dan pengkhutbah tersebut mewanti-wanti kepada para jamaah sholat jumat agar berhati-hati karena virus ini telah menyebar di dua ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (saya melihat ini bukanlah seruan moral tetapi lebih pada seruan yang cenderung politis).
Selain itu juga para jama’ah diharapakan menjauhi Jaringan Islam Liberal yang digawangi oleh Ulil Absor Abdalla yang yang saat ini sedang disekolahkan di Amerika untuk mengobok-obok Islam ketika sekembalinya ke Indonesia. Pengkhutbah (semoga di rahmati oleh Alloh SWT) juga mengatakan bahwa Nurkholish madjid sebagai penggagas islam liberal di Indonesia ketika meninggal tubuhnya gosong walaupun ditambah dengan kata ‘konon’. Mungkin pengkhutbah ini terlalu banyak menonton sinetron-sinetron semacam rahasia illahi. Dalam khutbah Jumat itu juga membahas mengenai pemurtadan di UIN.
Hal-hal semacam ini adalah fenomena gunung es, memang menjadi hal yang wajar jika didekati dengan pendekatan psikologi. Saat ini keberadaan umat islam sedang tertekan, berada dibarisan belakang peradaban sehingga ketika melihat segala sesuatu tidak dapat berpikir dengan jernih, seakan-akan gelap mata.
Jika kita mau menengok beberapa bulan ke belakang, ketika terjadi kerusuhan di monas, argumentasi apa yang di keluarkan oleh sebagian umat islam ? mereka menganggap peristiwa itu telah di setting pihak barat yang diwakili Amerika serikat. Teori serampangan bukan ? mundur beberapa tahun kebelakang, ketika tragedi 11/9 terjadi, banyak yang menganggap bahwa itu adalah hasil konspirasi yahudi dan masih banyak lagi argumen-argumen yang mengkambing hitamkan barat. Walaupun banyak kebijakan barat yang pantas dikritisi.
Beberapa hari setelah sholat jum’at itu, saya mencoba mengkonfirmasi ke blog milik Ulil Absor abdalla, justru yang saya temukan justru artikel mengenai pentingnya memberikan akses bagi kaum diffable (berdaya beda) dan banyak artikel ulasan politik dalam negri serta catatan sederhana tentang kehidupan di Amerika.
Umat islam saat ini membutuhkan pemikiran-pemikiran cemerlang yang mampu memberi pencerahan tanpa paksaan bukan khutbah-khutbah dogmatis yang justru menggelapkan mata dan menengelamkan umat Islam kedalam lautan prasangka. Wallahu’a lam bishawab.

Kamis, 10 Juli 2008

Dan Tuhan pun ikut bermain dadu


Udara malam di kota saya begitu dingin, saya dan seorang kawan lama saya memutuskan untuk duduk-duduk sambil minum kopi di suatu tempat. Di tempat itu tersedia beberapa permainan untuk menemani kami mium kopi. Awalnya kami akan berceloteh mengenai suatu makalah tentang Sejarah filsafat Islam dan pemikiran Islam serta isu-isu kontemporer. Tapi karena di tempat itu tidak ada penerangan yang dapat memungkinkan untuk membaca maka kita memutuskan untuk mengambil permainan itu.

Ada dua permainan yang disediakan pertama adalah catur dan kedua adalah ular tangga. Sebelum kami menuju tempat ini kami lama berbincang mengenai pluralism maka kami memutuskan mengambil permainan ular tangga karena setiap kotak di papan itu menyediakan warna yang berbeda-beda hal ini berbeda dengan papan catur yang hanya menyediakan dua warna hitam dan putih dan itu cukup membosankan. Selain itu juga karena kami tidak layak untuk dikatakan bisa bermain catur.

Sebelum permainan di mulai kami bersepakat untuk melakukan dekonstruksi permainan. Pertama ialah kita memulai permainan dari angka 100 menuju angka 1 tidak seperti biasanya permainan ular tangga di mulai dari angka 1 menuju 100. Artinya bahwa hidup kita dimulai dari segala sesuatu yang beraneka rupa dan hanya akan menuju pada yang satu. Yang kedua adalah jika permainan ular tangga biasa, siapa yang mendapat mata dadu 6 maka mempunyai privilege yaitu mendapatkan kesempatan mengundi dadu sekali lagi namun dalam aturan permainan kami justru yang mendapatkan privilege adalah jika kita mendapatkan mata dadu 1. Karena jika kita mendapatkan mata dadu enam dan mendapat privilege maka akan berbenturan dengan asas keadilan yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Ketiga ialah jika medapatkan ular maka akan mendapatkan bonus naik ke strata yang lebih tinggi sesuai aturan yang telah ditentukan namun jika bertemu dengan tangga maka akan membuat turun/ jatuh sesuai strata yang telah di tentukan, jika dalam permainan normal (dalam pandangan mainstream) mendapatkan tangga akan naik dan mendapatkan ular maka akan turun namun logika ini akan berlawanan dengan peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga.

Kemudian kami pun memulai permainan, pada awalnya saya sempat tertinggal jauh dari teman saya, saya pernah hampir menyalipnya( saya mendapatkan kesempatan melangkah dua kali namun saya bilang tiga karena saya akan mendapatkan ular dan secara otomatis saya naik) namun saya mengurungkannya dan mengakui bahwa saya hanya mendapat mata dadu 2 kemudian saya katakan pada teman saya bahwa kamu adalah gambaran masyarakat Indonesia mudah di tipu dan kurang kritis. Untung teman saya tidak mengatakan saya adalah gambaran pejabat Negara Indonesia yang mudah memanipulasi angka. Disela-sela permainan ular tangga, kami sesekali menyeruput mocca late dengan didampingi pisang coklat (sebenarnya kami tidak memesan pisang coklat tapi kentang goreng) namun pelayan salah membaca pesanan kami.

Permainanpun masih berlanjut, karena kita bermain diatas meja bambu yang tidak rata kadang dadu berdiri tak sempurna sehingga dapat di baca dari dua arah, arah saya dan arah teman lamaku ini. Sehingga kita menggunakan pendekatan hermeneutika. Yaitu menempatkan pengundi dadu, dadu, dan pembaca mata dadu. Sehingga kebenaran di serahkan pada pengundi dadu, kebetulan karena saya lah yang berposisi sebagai pemain dan pengundi dadu maka saya memiliki otoritas dalam pembacaan mata dadu. kadang kita jatuh tertimpa tangga namun kadang kita terbang bersama ular ajaib. Saat mulai mendekati strata tertinggi dalam permainana ular tangga kami selalu jatuh tertimpa tangga (seperti terjebak dalam vicious circle). Di dalam strata tertinggi di permainaan ular tangga ini terdapat dua tangga yang akan membuat kita terjatuh. Kita hampir putus asa untuk melanjutkan permainaan karena kita selalu jatuh dan jatuh. Mungkin inilah yang dirasakan orang-orang yang bunuh diri karena tekanan hidup. Akhirnya teman saya punya ide untuk berdoa, bahwa dalam setiap kebuntuan maka harus kembali pada Tuhan kembali pada sesuatu diluar kekuatan manusia.

Saat sudah mendekati strata tertinggi teman saya lupa membaca doa dan akhirnya mendapatkan mata dadu enam dan turun dengan tangga menuju hampir setengah halaman ular tangga(dia anggap masih jauh jadi belum perlu berdoa). Begitupun juga saya masih sering jatuh tertimpa tangga, dan akhirnya kami pun mampu naik kembali ke strata paling tinggi dalam permainan ini, sebelum menghadapi kotak yangdapat menurunkan kita, kita pun berdoa dan sesuatu yang luar biasa kita mampu melewati kotak maut tersebut. Dan teman saya berdoa kembali untuk dapat mencapai finish (sebenarnya dalam papan ular tangga tertulis kata : mulai). Karena dia membutuhkan mata dadu 2 untuk mencapai finish dan diapun berdoa meminta mata dadu 2 akhirnya benar yang keluar adalah mata dadu 2 dan diapun memenangkan permainan itu. Kemudian saya ikut berdoa karena tinggal giliran saya, saya membutuhkan angka 6 namun saya tidak menyertakan angka enam dalam doa saya karena saya pikir Tuhan maha Tahu. Akhirnya yang keluarpun angka enam dan saya dapat sampai finish. Walaupun harus kalah.

Menarik bermain ular tangga ini karena kita dapat menghargai pluralisme, berbeda-beda agama tetapi pada hakikatnya menuju pada yang satu, kita belajar melakukan pembacaan hermeneutik, melakukan dekonstruksi terhadap aturan, menggunakan local wisdom dalam perjalanan hidup salah satu bentuknya ialah menggunakan peribahasa bijak, belajar tentang kesabaran dan kejujuran, dan yang paling penting bahwa ada kesadaran mengenai kekuatan diluar manusia sehingga dalam hidup memerlukan doa.

Untuk teman lama saya semoga kita dapat bertemu kembali dan bermain dalam pikiran-pikiran. Seperti pembicaraan kita dulu saat masih duduk di bangku SMA bahwa masalah tidak harus untuk langsung dihadapi, namun juga tidak langsung untuk dihindari namun kita harus keluar dari masalah dan memproyeksikannya dari luar baru memutuskan apakah kita harus lari atau menyelami masalah. Melihat permainan ular tangga saya teringat buku Gunawan Muhammad yang berjudul Tuhan dan hal-hal yang tak selesai. Jika belajar dari permainan ular tangga saya berharap di suatu waktu dapat menulis buku berjudul Tuhan dan segala sesuatu yang harus cepat-cepat di selesaikan.

Selasa, 08 Juli 2008

Madina, majalah alternatif

Bermula ketika beberapa bulan terakhir, saya harus pulang ke kampung halaman di Purwokerto (Sebuah kota kecil di Jawa Tengah). Disela-sela waktu saya iseng mencari bacaan-bacaan di perpustakaan pribadi orang tua saya. Saya menemukan beberapa eksemplar majalah-majalah saya diwaktu kecil seperti majalah bobo kemudian majalah remaja seperti HAI dan majalah-majalah favorit pada saat saya duduk di bangku SMA yaitu SABILI. saya membaca ulang majalah yang satu ini karena cover depannya cukup fantastik “tolak presiden salib” lalu ada lagi judul “Strategi salib kuasai pemilu”. Ketika memegang majalah ini saya teringat pesan salah satu dosen saya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang menyarankan membaca majalah ini, beliau mengatakan” sekali-kali bacalah sabili jangan hanya baca kompas dan tempo saja” mungkin suatu saat saya harus mengatakan pada umat Islam”yang mengaku paling beriman” jangan hanya baca Sabili sekali-kali bacalah tempo atau kompas. Majalah seperti sabili Dari judul-judulnya saja sangat provokatif dan berperan besar mempengaruhi Psikologi pembacanya dalam memandang suatu masalah, selalu dikotomik. Benar dan salah, mukmin dan kafir dan sebagainya.

Selain majalah-majalah tersebut saya juga membaca majalah-majalah koleksi orang tua seperti As-shunnah, Al- Furqon, As-Silm, Umi dan gerimis yang menjadi majalah mayoritas di rak buku milik orang tua saya. Tapi isinya tak jauh beda dari majalah yang telah disebutkan diatas. Masih memandang segalanya dikotomik dan cenderung selalu menyalahkan. Kemudian di kota Purwokerto ini saya jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Saya melihat majalah madina, (sebenarnya bukan yang pertama kali melihat tapi pertama kali melihat dengan membawa uang yang cukup untuk membelinya). Dan akhirnya saya memutuskan membelinya, saya membeli madina edisi bulan Juni dan saya melewatkan 5 edisi sebelumnya.

Saya tertarik membeli madina karena cover depannya memuat 25 tokoh Islam Damai. Karena isu mengenai kekerasaan atas nama agama mulai muncul kembali di Negara kita Indonesia. Ini menjadi media alternatif di tengah menjamurnya media-media Islam yang antagonistik terhadap modernitas. Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari majalah madina ini :

Kelebihannya pertama, Lebih menyejukan, karena media ini tidak memprovokasi pembaca untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua, halaman full color, sehingga pembaca tidak hanya menikmati tulisan-tulisannya tetapi juga dapat menikmati gambar-gambar yang disajikan. Ketiga, memberikan perspektif berbeda terhadap suatu masalah. Misalnya dalam edisi bulan Juni 2008 madina mencoba melihat Isu Israel dengan cara pandang berbeda. Madina menyajikan wawancara eksklusif dengan Rabi Yisroel Dovid Weiss yang menganggap bahwa Yahudi Religius adalah anti Zionis. Hal ini menjadi cara pandang baru ditengah-tengah pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel Palestina adalah konflik para fundamentalis agama dan pandangan yang menganggap konflik Israel-Palestina adalah konflik agama antara Islam dan Yahudi. Pandangan baru ini meruntuhkan argumen yang men-generalisasikan orang yahudi itu memusuhi Islam. Keempat ialah berorientasi pada penyebaran paham pluralisme, paham ini diperlukan dalam dunia multikultural seperti saat ini. Kelima, tulisannya cukup ringan sehingga mudah di konsumsi khalayak ramai. Keenam, ini yang paling penting, membela Islam dengan cara yang santun.

Tak ada gading yang tak retak, selain kelebihan-kelebihan diatas majalah Madina ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, harganya yang cukup mahal untuk seorang mahasiswa. Kedua, dalam hal iklan masih relatif sedikit sehingga masih dipertanyakan sustainability majalah ini. Ketiga, minimnya kolaborasi antara fakta sosial dan teks-teks Al-Quran dan Al hadits. Keempat, minimnya ruang untuk opini.

Terlepas dari segala kekurangan, media ini pantas untuk diapresiasi dan dijadikan sebagai media alternatif di tengah hiruk pikuk media yang menawarkan formalisasi Syariat dan konflik atas nama agama. Dan media yang satu ini layak untuk dibaca.

Minggu, 22 Juni 2008

Organisasi Islam dan isu yang tak seksi


Saat ini kita hidup di dalam sebuah ruang yang disebut perkampungan global, sebuah ruang dimana segala informasi secara cepat bisa di dapat. Islam sebagai agama yang telah lahir 14 abad yang lalu, telah melalui perjalanan yang berliku-liku. Satu hal yang sangat menyedihkan menurut Penulis ialah dalam perjalanannya islam terlalu larut di bawa ke dalam ranah high politik. Dari berbagai konflik yang terjadi di dunia islam khususnya konflik intern lebih sering didominasi masalah politik. Yang di maksud politik di sini ialah sebuah perjuangan untuk mendapatkan, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan.
Dalam studi ilmu politik, ranah politik bisa di klasifikasikan menjadi dua yaitu ranah high politik dan ranah low politik. Yang termasuk ranah high politik ialah kekuasaan, keamanan, perang dan damai, kemudian yang termasuk ranah low politik ialah masalah ekonomi, HAM, pluralisme, lingkungan, pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Jika dimasukan dalam klasifikasi ini islam lebih sering bergerak dalam ranah high politik yaitu terlalu konsentrasi dalam hal kekuasaan.
Jika di telaah dari dulu yaitu dari zaman khilafah rasyidah hingga sekarang islam terlalu fokus pada masalah siapa yang memimpin, bagaimana membentuk khilafah islamiyah, bagaiman mebentuk negara islam, melakukan formalisasi syariat. Tetapi lupa pada hal-hal kecil yang sebenarnya besar seperti masalah pemanasan global, kemiskinan, pendidikan, dll. Hingga saat ini masih sedikit-untuk tidak mengatakan tidak ada organisasi ataupun gerakan islam yang peduli pada masalah-masalah seperti pemanasan global.
Belum lama ini kita dengar al Gore mantan wakil presiden pada masa pemerintahan Bill Clinton mendapatkan nobel perdamaian karena aktivitasnya yang peduli pada masalah global warming, hal ini adalah sebuah tamparan bagi organisasi ataupun gerakan islam. Organisasi islam yang selalu berbicara bahwasannya islam telah mengatur segala hal dalam kehidupan dari hal yang besar hingga hal yang detail sekalipun, tetapi dalam kenyataannya islam hanya di pakai sebagai dalih untuk menyerang masyarakat kecil yang membuka usahanya di siang hari pada bulan ramadhan, islam di gunakan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, Islam dimanfaatkan untuk melegalisasi tindakan kekerasan dan islam di bajak untuk tindakan-tindakan terorisme hal ini cukup menyedihkan. Penulis meyakini bahwa dalam islam banyak terdapat landasan-landasan normatif mengenai masalah-masalah lingkungan.
Mulai saat ini hendaknya ada organisasi islam yang dalam gerakannya peduli pada masalah pemanasan global, sehingga tidak terjadi politisasi agama yang cenderung reduksionis. Di harapkan organisasi islam mampu menyebarkan islam yang transformatif dan progresif.

Jumat, 06 Juni 2008

FPI dan Imajinasi tentang Surga

“Mengejar surga yang damai dengan kekerasan”

Peringatan hari pancasila 1 juni 2008 harus tercoreng dengan adanya tindakan penyerangan yang dilakukan oleh masa FPI (Front Pembela Islam) terhadap Aliansi kebangsaan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sedang mengadakan aksi damai di lapangan Monas. Aksi ini diikuti oleh sekitar 70 lembaga diantaranya ialah Nahdatul Ulama, Ahmadiyah, Komunitas Gereja, Penghayat Kepercayaan, Syiah dan Pesantren Cirebon. Serangan ini menyebabkan 12 orang dari Aliansi kebangsaan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami luka-luka.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI ini adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang manapun. Sebagai ORMAS yang mengatasnamakan Islam, FPI seharusnya memahami peran dasar sebuah agama yaitu untuk untuk membebaskan (to liberate), mendidik (to educate),dan memanusiakan (to humanize) kehidupan manusia. Apa yang dilakukan oleh FPI adalah sebuah tindakan yang jauh dari semangat memanusiakan manusia.

Menurut Oxford Dictionary (1998) violence atau kekerasan adalah “tingkah laku yang melibatkan kekuatan fisik untuk melukai, menyakiti, merusak atau membunuh seorang atau sesuatu”. Ada dua kategori kekerasan, yang pertama adalah Oppressive Violence yaitu kekerasan yang bertujuan untuk penindasan dan merugikan orang lain. Yang kedua adalah liberative Violence yaitu kekerasan yang bertujuan membebaskan ini terjadi ketika sebuah Negara dalam kondisi terjajah oleh kelompok lain. Dalam hal ini kekerasan yang dilakukan oleh FPI termasuk kategori Opressive Violence.

Menurut FPI, aliansi kebangsaan untuk kebebasan beragama dan Berkeyakinan telah melindungi kelompok Ahmadiyah yang mereka anggap telah “menodai” ajaran Islam. Sehingga pilihannya adalah “tobat atau perang”. Disini Ironi terjadi ketika FPI beranggapan bahwa Ahmadiyah harus dibubarkan karena telah “menodai” ajaran Islam tetapi cara yang digunakan oleh FPI justru lebih menodai Islam. Kalaupun logika perang yang digunakan hal itu masih jauh dari etika berperang Rasululloh SAW karena menyerang perempuan dan anak-anak. Dan penulis menganggap bahwa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak pantas untuk diserang atau diperangi.

Apa yang dilakukan FPI adalah buah dari Imajinasi tentang surga. Agama dalam persepektif mereka adalah untuk Tuhan bukan untuk manusia. Sehingga apa yang dilakukan jauh dari sifat kemanusiaan dan tidak berakar dibumi. Dan hal itu dilakukan demi medapatkan “surga yang telah dijanjikan”. Lagi-lagi ironi terjadi mereka ingin mengejar surga yang penuh kedamaian dengan melakukan kekerasan, dua hal yang bertolak belakang.

Fenomena kekerasan atas nama agama menurut Kimball sebagaimana dikutip oleh Sunarwoto Dewa[1] adalah karena adanya pembusukan dan pengkorupsian agama, ada lima tanda proses pembusukan dan pengkorupsian agama pertama, klaim kebenaran. Kedua, ketaatan buta pada pemimpin agama. Ketiga, upaya-upaya membangun zaman ideal. Keempat, tujuan menghalalkan segala cara dan puncak dari keempat tanda tersebut adalah ide perang suci (holy war). Fenomena FPI diatas adalah sebuah tanda telah terjadi pembusukan pengkorupsian agama karena FPI melakukan klaim kebenaran, menghalalkan kekerasan dan mengembangkan ide “perang suci”

Kekerasan adalah tindakan yang memalukan dalam masyarakat modern apalagi dengan mengatasnamakan Agama. Dan dalam kasus FPI ini telah melanggar UUD 1945 serta Pancasila sehingga diharapkan adanya ketegasan pemerintah untuk menindak pelaku kekerasan. Pemerintah harus melindungi masyarakat apalagi masyarakat yang haknya dilanggar. Dan untuk penutup, penulis akan mengutip apa yang dikatakan oleh Mohandes Karamchand Gandhi (1869-1948), “kejahatan terlahir dari kejahatan, kejahatan melahirkan kejahatan, dan kejahatan terejawantahkan melalui kekerasan”.

.


[1] Sunarwoto Dewa, menyingkap tanda-tanda bencana agama, jawa pos, 7 maret 2004

Minggu, 01 Juni 2008

Di bawah kuasa bayang-bayang


Bayangkanlah jika kamu menjadi presiden !

Bayangkanlah jika kamu harus menjadi vegetarian !

Bayangkanlah jika kamu harus berhenti bernafas !

Bayangkanlah jika tidak ada manusia di dunia ini !

Bayangkanlah jika kamu masuk surga !

Bayangkanlah jika kamu masuk neraka !

Dan…

Bayangkanlah jika kamu tidak mempunyai bayang-bayang !

Beberapa hari yang lalu saya dan beberapa teman jalan-jalan di Ambarukmo Plaza, ada banyak hal yang memprovokasi mata dan pikiran saya untuk bekerja ekstra lebih. Mata saya melihat ke sekeliling, proses pencitraan masal sedang dilakukan dengan begitu masif, sebuah outlet baju memajang beberapa tubuh perempuan cantik ( dalam bayangan saya ) di depan pintu, sebuah proses pencitraan sedang dilakukan oleh pemilik outlet tersebut, bahwa siapapun perempuan yang membeli baju di outlet ini maka akan secantik perempuan-perempuan yang dipajang tadi. Kemudian kaki saya melangkah di depan sebuah outlet alat-alat olahraga di sana terpampang sebuah gambar tubuh laki-laki yang begitu atletis, sekali lagi proses pencitraan massal sedang dilakukan oleh pemilik outlet tersebut, hal ini dilakukan untuk mempengaruhi siapapun (khususnya laki-laki) yang lewat di depan outlet tersebut dapat memiliki tubuh ideal jika menggunakan alat-alat olahraga yang disediakan outlet tersebut. Entah itu laki-laki kurus atau gemuk.

Sebenarnya proses pencitraan itu tidak hanya ada di Ambarukmo Plaza saja namun telah menyebar di jalan-jalan, dikampus, sekolah bahkan telah masuk kedalam kamar tidur kita. saya tidak akan membicarakan mengenai seberapa jauh proses pencitraan merasuk kedalam tubuh kita, melainkan saya akan membicarakan mengenai sesuatu yang dekat dengan kita, sekumpulan sesuatu yang bersemayam dipikiran kita. Yaitu makhluk bernama bayang-bayang.

Kadang saya bertanya pada diri sendiri apakah saya ( sepotong fisik yang berisi akal, hati nurani, dan hawa nafsu ) sebagai sesuatu yang asli dan memiliki bayang-bayang yang berupa sekumpulan angan yang bersemayam dalam pikiran atau saya ( sepotong fisik yang berisi akal, hati nurani, dan hawa nafsu ) adalah bayang-bayang dari apa yang selama ini kita anggap (bayangkan) sebagai bayang-bayang ?

Karena jangan-jangan kita adalah sebuah bayangan dari hasil rekaan para pemilik outlet baju, sepatu alat-alat olahraga atau mungkin keberadaan kita saat ini adalah hasil dari apa yang dibayangkan oleh orang-orang sebelum kita.

pertanyaan seperti itu harus hadir pada diri kita karena disadari atau tidak kita sering dikuasai oleh makhluk bernama bayang-bayang. Misalnya Jika bayangan tentang uang hadir dalam pikiran kita maka kita akan berusaha mengejar dan mencarinya hingga berkeringat atau bahkan sampai berdarah-darah, bayangan itu telah membuat kita cinta mati dengan apa namanya uang padahal tidak ada uang yang cinta mati pada kita. Disini bayangan tentang uang telah menjadi moneypulator meminjam istilah Jenar Maesa Ayu. Lalu bayangan tentang Indonesia yang adil dan makmur telah memakan begitu banyak korban harta bahkan sampai nyawa, bayangan tentang surga juga berperan besar dalam peledakan-peledakan bom yang membunuh tak sedikit manusia, bayangan tentang defisitnya APBN pun membuat pemerintah kita mencabut subsidi minyak untuk rakyat dan masih banyak contoh lainnya.

Kita kadang tak pernah merasa puas dengan sesuatu hal yang telah kita dapatkan karena bayang-bayang telah menarik kita untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari apa yag telah kita dapatkan dan ketika kita merasa kehilangan harapan atau ketika kita merasa jatuh, bayang-bayang membuat kita bersemangat lagi karena bayang-bayang hadir dengan wajah yang indah dan menyenangkan.

Tulisan ini hanya ingin mengajak kita semua merenungkan betapa luarbiasanya pengaruh bayang-bayang dalam kehidupan umat manusia. Bayang-bayang telah menguasai kehidupan manusia. Manusia akan melakukan apa saja demi bayang-bayang. Permasalahannya bukan bagaimana kita menghilangkan bayang-bayang yang telah mensubordinasikan kita tetapi bagaimana mendudukan bayang-bayang sesuai dengan porsinya karena bayang-bayang dan manusia adalah dua entitas yang tak dapat dipisahkan. Saya teringat apa kata shindunata bahwa bayang-bayang itulah kenyataan yang selalu menyertai hidup manusia. Bisa jadi bayang-bayang itu adalah lamunannya, impiannya atau cita-citanya tapi bisa juga bayang-bayangnya itu adalah kegagalannya, kesia-siaannya atau kesedihannya. Manusia tak mungkin ada tanpa bayang-bayangnya. Dimanapun ia berada, kemanapun ia mengembara, bayang-bayang itu tak mungkin lepas dari hidupnya (bayang-bayang, Sudiarja, 2003).

Kamis, 29 Mei 2008

Menghimpun kita pada suatu ruang

keringat kita

menyatu

meludahi kesunyian

nafas kita berlarian

memburu harapan

kulit kita mengelupas

dan kita menikah

dalam pikiran

Selasa, 27 Mei 2008

Scripta manent verba Volant


Surat untuk diri sendiri,

Untuk fajar sang pengidap insomnia

Malam ini sepertinya kamu harus berhenti menatap atap kamarmu, bangunlah ! seduh secangkir kopi panas dan nyalakan sebatang rokok. Ada persamaan antara kopi panas, sebatang rokok yang kau nyalakan dengan perjalanan hidupmu yang dipenuhi kekecewaan, himpunan mimpi dan sejumlah angan.

Untuk fajar sang pengidap insomnia

Kita mulai dari kopi panas. Kopi panas adalah minuman yang mempunyai kemampuan luar biasa dalam merangsang asam lambung yang mampu membuatmu muntah, lebih-lebih jika lambungmu kosong. Hal ini sama dengan perjalanan hidupmu, yang kau jejali dengan rasa kekecewaan, himpunan mimpi dan sejumlah angan. Jika kau menelannya tanpa persiapan, menelan masalah-masalahmu itu tanpa ilmu, itu hanya akan membuatmu muntah. Hal itu tak akan terjadi jika kamu menyempatkan waktu untuk membaca buku psikologi, maka kekecewaanmu akan kamu telan dengan hati-hati dan tak akan membuatmu muntah. begitupun rokok yang kau nyalakan, benda ini lebih tepatnya adalah gambaran tentang dirimu. Setiap sekali rokokmu kau hisap maka satu detik perjalanan hidupmu terlewati. Rokok itu menjadi sekumpulan asap yang seketika hilang tertelan angin, begitupun juga perjalaan hidupmu yang kau penuhi dengan mimpi, dan angan-angan. Keduanya hanya akan menjadi asap yang akan berlalu seketika. Mimpi-mimpimu hanya akan terhapus di dunia yang mudah melupa ini.

Untuk fajar sang pengidap insomnia

Aku hanya ingin memberitahumu, bahwa jadikanlah malam-malammu yang sepi ini sebagai sebuah cermin untuk melakukan refleksi diri. Proyeksikan dirimu dari luar dirimu, apa yang terjadi pada dirimu ? apakah kau masih akan tetap menjadikan pengalaman hidupmu seperti kopi panas yang dapat membuat perutmu mual atau kamu akan tetap bermimpi dan selanjutnya hilang begitu saja seperti asap rokok ?

Untuk fajar sang pengidap insomnia

Aku hanya ingin mengajakmu kedalam sebuah ruangan baru, sebuah ruangan yang pasti dengan suasana baru. Sebuah ruang yang akan memudahkanmu dalam menghadapi problem-problem hidup dan sebuah ruangan yang akan membuat mimpi-mimpimu akan tetap mengabadi. Yaitu sebuah ruang bernama baca-tulis.

Untuk fajar sang pengidap Insomnia

Bacalah! itu akan membuatmu mengetahui, dan tuliskanlah itu akan membuat orang lain mengetahui. Membaca dan menulis adalah sepasang suami istri yang bersalin dalam waktu dan berjejak dalam ruang. SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT, Apa yag tertulis akan tetap mengabadi dan apa yang terucap akan berlalu bersama angin.

Minggu, 25 Mei 2008

Aliran Sesat dalam dekapan Teori Konspirasi


Ada sebuah perasaan menyedihkan ketika penulis membaca sebuah majalah yang di terbitkan oleh salah satu organisasi islam di Indonesia. Majalah ini terbit seiring dengan ramainya aksi masa yang memaksa anggota dari beberapa organisasi yang dianggap sesat untuk melakukan “pertobatan”. Yang menjadi headline dari majalah tersebut ialah mengenai keberadaan aliran sesat di indonesia, yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang menarik. Dalam pemberitaan di majalah tersebut dikatakan bahwa menjamurnya aliran sesat di Indonesia adalah buah dari propoganda kristen dan zionisme di Indonesia, tujuannya ialah untuk memecah belah islam. Di majalah tersebut dikatakan bahwa organisasi seperti Al-Qiyadah al Islamiyah adalah organisasi yang dibentuk oleh misionaris Kristen yang berada di Indonesia, begitu juga mereka mencoba menjelaskan bahwa Ahmadiyah adalah sebuah organisasi bentukan kolonialis Inggris pada saat mereka menjajah India.

Teori yang dibangun dari majalah tersebut dalam menanggapi perkembangan Aliran sesat di Indonesia ialah teori konspirasi. Teori konspirasi mejelaskan bahwa ada pihak lain (dalang) di balik sebuah peristiwa. Pasca tragedi WTC 11 September teori konspirasi menjadi “penyakit” yang mewabah dalam cara berpikir umat Islam. Penulis meyakini adanya teori konspirasi yang exist di dunia ini. Namun penulis sedikit kurang bersepakat jika teori tersebut digunakan dalam dosisnya yang berlebih yang memungkinkan untuk menggunakannya dalam mendekati semua fenomena sosial politik. Teori konspirasi menjadi berbahaya ketika digunakan dalam dosisnya yang berlebih karena dapat membuat seseorang malas berpikir karena selalu beranggapan bahwa ada pihak lain (the other) yang berperan sebagai dalang dari semua peristiwa. Sehingga ketika ada suatu fenomena langsung melempar kesalahan kepada pihak lain.

Dalam hal aliran sesat jika kita mendekatinya dengan teori konspirasi maka kita akan menyalahkan misonaris kristen maupun zionis yang menjadi dalang menjamurnya aliran-aliran sesat di indonesia. Teori konspirasi akan mengeliminasi tradisi otokritik. Yaitu kritik diri dan dan alat refleksi diri. Sebenarnya hemat penulis alangkah lebih baiknya umat islam melakukan otokritik, melakukan kritik terhadap diri sendiri lebih konstruktif di banding dengan mendekatinya dengan teori konspirasi yang selalu menyalahkan pihak lain. Karena menggunakan teori konspirasi berarti telah melakukan proses penyederhanaan realitas, yaitu dihilangkannya suatu proses perjalanan spiritual (pergumulan, perenungan dan berkeyakinan) yang dialami oleh pemeluk organisasi yang dianggap sesat.

Jika kita melakukan otokritik maka hasil yang di peroleh ialah lembaga dakwah dari organisasi Islam “yang menganggap dirinya paling benar” belum mampu menyentuh pada masalah real keumatan. Banyak alasan mengapa masuk menjadi anggota aliran sesat karena faktor ekonomi. Sehingga yang di perlukan lembaga dakwah ialah bagaimana membuat sebuah mekanisme yang mampu menyentuh permasalahan umat tersebut. Penulis berpendapat hal ini lebih konstruktif di bandingkan harus selalu menyalahkan pihak lain.