Ada sebuah perasaan menyedihkan ketika penulis membaca sebuah majalah yang di terbitkan oleh salah satu organisasi islam di Indonesia. Majalah ini terbit seiring dengan ramainya aksi masa yang memaksa anggota dari beberapa organisasi yang dianggap sesat untuk melakukan “pertobatan”. Yang menjadi headline dari majalah tersebut ialah mengenai keberadaan aliran sesat di indonesia, yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang menarik. Dalam pemberitaan di majalah tersebut dikatakan bahwa menjamurnya aliran sesat di Indonesia adalah buah dari propoganda kristen dan zionisme di Indonesia, tujuannya ialah untuk memecah belah islam. Di majalah tersebut dikatakan bahwa organisasi seperti Al-Qiyadah al Islamiyah adalah organisasi yang dibentuk oleh misionaris Kristen yang berada di Indonesia, begitu juga mereka mencoba menjelaskan bahwa Ahmadiyah adalah sebuah organisasi bentukan kolonialis Inggris pada saat mereka menjajah India. Teori yang dibangun dari majalah tersebut dalam menanggapi perkembangan Aliran sesat di Indonesia ialah teori konspirasi. Teori konspirasi mejelaskan bahwa ada pihak lain (dalang) di balik sebuah peristiwa. Pasca tragedi WTC 11 September teori konspirasi menjadi “penyakit” yang mewabah dalam cara berpikir umat Islam. Penulis meyakini adanya teori konspirasi yang exist di dunia ini. Namun penulis sedikit kurang bersepakat jika teori tersebut digunakan dalam dosisnya yang berlebih yang memungkinkan untuk menggunakannya dalam mendekati semua fenomena sosial politik. Teori konspirasi menjadi berbahaya ketika digunakan dalam dosisnya yang berlebih karena dapat membuat seseorang malas berpikir karena selalu beranggapan bahwa ada pihak lain (the other) yang berperan sebagai dalang dari semua peristiwa. Sehingga ketika ada suatu fenomena langsung melempar kesalahan kepada pihak lain.
Dalam hal aliran sesat jika kita mendekatinya dengan teori konspirasi maka kita akan menyalahkan misonaris kristen maupun zionis yang menjadi dalang menjamurnya aliran-aliran sesat di indonesia. Teori konspirasi akan mengeliminasi tradisi otokritik. Yaitu kritik diri dan dan alat refleksi diri. Sebenarnya hemat penulis alangkah lebih baiknya umat islam melakukan otokritik, melakukan kritik terhadap diri sendiri lebih konstruktif di banding dengan mendekatinya dengan teori konspirasi yang selalu menyalahkan pihak lain. Karena menggunakan teori konspirasi berarti telah melakukan proses penyederhanaan realitas, yaitu dihilangkannya suatu proses perjalanan spiritual (pergumulan, perenungan dan berkeyakinan) yang dialami oleh pemeluk organisasi yang dianggap sesat.
Jika kita melakukan otokritik maka hasil yang di peroleh ialah lembaga dakwah dari organisasi Islam “yang menganggap dirinya paling benar” belum mampu menyentuh pada masalah real keumatan. Banyak alasan mengapa masuk menjadi anggota aliran sesat karena faktor ekonomi. Sehingga yang di perlukan lembaga dakwah ialah bagaimana membuat sebuah mekanisme yang mampu menyentuh permasalahan umat tersebut. Penulis berpendapat hal ini lebih konstruktif di bandingkan harus selalu menyalahkan pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar