Minggu, 22 Juni 2008

Organisasi Islam dan isu yang tak seksi


Saat ini kita hidup di dalam sebuah ruang yang disebut perkampungan global, sebuah ruang dimana segala informasi secara cepat bisa di dapat. Islam sebagai agama yang telah lahir 14 abad yang lalu, telah melalui perjalanan yang berliku-liku. Satu hal yang sangat menyedihkan menurut Penulis ialah dalam perjalanannya islam terlalu larut di bawa ke dalam ranah high politik. Dari berbagai konflik yang terjadi di dunia islam khususnya konflik intern lebih sering didominasi masalah politik. Yang di maksud politik di sini ialah sebuah perjuangan untuk mendapatkan, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan.
Dalam studi ilmu politik, ranah politik bisa di klasifikasikan menjadi dua yaitu ranah high politik dan ranah low politik. Yang termasuk ranah high politik ialah kekuasaan, keamanan, perang dan damai, kemudian yang termasuk ranah low politik ialah masalah ekonomi, HAM, pluralisme, lingkungan, pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Jika dimasukan dalam klasifikasi ini islam lebih sering bergerak dalam ranah high politik yaitu terlalu konsentrasi dalam hal kekuasaan.
Jika di telaah dari dulu yaitu dari zaman khilafah rasyidah hingga sekarang islam terlalu fokus pada masalah siapa yang memimpin, bagaimana membentuk khilafah islamiyah, bagaiman mebentuk negara islam, melakukan formalisasi syariat. Tetapi lupa pada hal-hal kecil yang sebenarnya besar seperti masalah pemanasan global, kemiskinan, pendidikan, dll. Hingga saat ini masih sedikit-untuk tidak mengatakan tidak ada organisasi ataupun gerakan islam yang peduli pada masalah-masalah seperti pemanasan global.
Belum lama ini kita dengar al Gore mantan wakil presiden pada masa pemerintahan Bill Clinton mendapatkan nobel perdamaian karena aktivitasnya yang peduli pada masalah global warming, hal ini adalah sebuah tamparan bagi organisasi ataupun gerakan islam. Organisasi islam yang selalu berbicara bahwasannya islam telah mengatur segala hal dalam kehidupan dari hal yang besar hingga hal yang detail sekalipun, tetapi dalam kenyataannya islam hanya di pakai sebagai dalih untuk menyerang masyarakat kecil yang membuka usahanya di siang hari pada bulan ramadhan, islam di gunakan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, Islam dimanfaatkan untuk melegalisasi tindakan kekerasan dan islam di bajak untuk tindakan-tindakan terorisme hal ini cukup menyedihkan. Penulis meyakini bahwa dalam islam banyak terdapat landasan-landasan normatif mengenai masalah-masalah lingkungan.
Mulai saat ini hendaknya ada organisasi islam yang dalam gerakannya peduli pada masalah pemanasan global, sehingga tidak terjadi politisasi agama yang cenderung reduksionis. Di harapkan organisasi islam mampu menyebarkan islam yang transformatif dan progresif.

Jumat, 06 Juni 2008

FPI dan Imajinasi tentang Surga

“Mengejar surga yang damai dengan kekerasan”

Peringatan hari pancasila 1 juni 2008 harus tercoreng dengan adanya tindakan penyerangan yang dilakukan oleh masa FPI (Front Pembela Islam) terhadap Aliansi kebangsaan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sedang mengadakan aksi damai di lapangan Monas. Aksi ini diikuti oleh sekitar 70 lembaga diantaranya ialah Nahdatul Ulama, Ahmadiyah, Komunitas Gereja, Penghayat Kepercayaan, Syiah dan Pesantren Cirebon. Serangan ini menyebabkan 12 orang dari Aliansi kebangsaan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami luka-luka.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI ini adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang manapun. Sebagai ORMAS yang mengatasnamakan Islam, FPI seharusnya memahami peran dasar sebuah agama yaitu untuk untuk membebaskan (to liberate), mendidik (to educate),dan memanusiakan (to humanize) kehidupan manusia. Apa yang dilakukan oleh FPI adalah sebuah tindakan yang jauh dari semangat memanusiakan manusia.

Menurut Oxford Dictionary (1998) violence atau kekerasan adalah “tingkah laku yang melibatkan kekuatan fisik untuk melukai, menyakiti, merusak atau membunuh seorang atau sesuatu”. Ada dua kategori kekerasan, yang pertama adalah Oppressive Violence yaitu kekerasan yang bertujuan untuk penindasan dan merugikan orang lain. Yang kedua adalah liberative Violence yaitu kekerasan yang bertujuan membebaskan ini terjadi ketika sebuah Negara dalam kondisi terjajah oleh kelompok lain. Dalam hal ini kekerasan yang dilakukan oleh FPI termasuk kategori Opressive Violence.

Menurut FPI, aliansi kebangsaan untuk kebebasan beragama dan Berkeyakinan telah melindungi kelompok Ahmadiyah yang mereka anggap telah “menodai” ajaran Islam. Sehingga pilihannya adalah “tobat atau perang”. Disini Ironi terjadi ketika FPI beranggapan bahwa Ahmadiyah harus dibubarkan karena telah “menodai” ajaran Islam tetapi cara yang digunakan oleh FPI justru lebih menodai Islam. Kalaupun logika perang yang digunakan hal itu masih jauh dari etika berperang Rasululloh SAW karena menyerang perempuan dan anak-anak. Dan penulis menganggap bahwa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak pantas untuk diserang atau diperangi.

Apa yang dilakukan FPI adalah buah dari Imajinasi tentang surga. Agama dalam persepektif mereka adalah untuk Tuhan bukan untuk manusia. Sehingga apa yang dilakukan jauh dari sifat kemanusiaan dan tidak berakar dibumi. Dan hal itu dilakukan demi medapatkan “surga yang telah dijanjikan”. Lagi-lagi ironi terjadi mereka ingin mengejar surga yang penuh kedamaian dengan melakukan kekerasan, dua hal yang bertolak belakang.

Fenomena kekerasan atas nama agama menurut Kimball sebagaimana dikutip oleh Sunarwoto Dewa[1] adalah karena adanya pembusukan dan pengkorupsian agama, ada lima tanda proses pembusukan dan pengkorupsian agama pertama, klaim kebenaran. Kedua, ketaatan buta pada pemimpin agama. Ketiga, upaya-upaya membangun zaman ideal. Keempat, tujuan menghalalkan segala cara dan puncak dari keempat tanda tersebut adalah ide perang suci (holy war). Fenomena FPI diatas adalah sebuah tanda telah terjadi pembusukan pengkorupsian agama karena FPI melakukan klaim kebenaran, menghalalkan kekerasan dan mengembangkan ide “perang suci”

Kekerasan adalah tindakan yang memalukan dalam masyarakat modern apalagi dengan mengatasnamakan Agama. Dan dalam kasus FPI ini telah melanggar UUD 1945 serta Pancasila sehingga diharapkan adanya ketegasan pemerintah untuk menindak pelaku kekerasan. Pemerintah harus melindungi masyarakat apalagi masyarakat yang haknya dilanggar. Dan untuk penutup, penulis akan mengutip apa yang dikatakan oleh Mohandes Karamchand Gandhi (1869-1948), “kejahatan terlahir dari kejahatan, kejahatan melahirkan kejahatan, dan kejahatan terejawantahkan melalui kekerasan”.

.


[1] Sunarwoto Dewa, menyingkap tanda-tanda bencana agama, jawa pos, 7 maret 2004

Minggu, 01 Juni 2008

Di bawah kuasa bayang-bayang


Bayangkanlah jika kamu menjadi presiden !

Bayangkanlah jika kamu harus menjadi vegetarian !

Bayangkanlah jika kamu harus berhenti bernafas !

Bayangkanlah jika tidak ada manusia di dunia ini !

Bayangkanlah jika kamu masuk surga !

Bayangkanlah jika kamu masuk neraka !

Dan…

Bayangkanlah jika kamu tidak mempunyai bayang-bayang !

Beberapa hari yang lalu saya dan beberapa teman jalan-jalan di Ambarukmo Plaza, ada banyak hal yang memprovokasi mata dan pikiran saya untuk bekerja ekstra lebih. Mata saya melihat ke sekeliling, proses pencitraan masal sedang dilakukan dengan begitu masif, sebuah outlet baju memajang beberapa tubuh perempuan cantik ( dalam bayangan saya ) di depan pintu, sebuah proses pencitraan sedang dilakukan oleh pemilik outlet tersebut, bahwa siapapun perempuan yang membeli baju di outlet ini maka akan secantik perempuan-perempuan yang dipajang tadi. Kemudian kaki saya melangkah di depan sebuah outlet alat-alat olahraga di sana terpampang sebuah gambar tubuh laki-laki yang begitu atletis, sekali lagi proses pencitraan massal sedang dilakukan oleh pemilik outlet tersebut, hal ini dilakukan untuk mempengaruhi siapapun (khususnya laki-laki) yang lewat di depan outlet tersebut dapat memiliki tubuh ideal jika menggunakan alat-alat olahraga yang disediakan outlet tersebut. Entah itu laki-laki kurus atau gemuk.

Sebenarnya proses pencitraan itu tidak hanya ada di Ambarukmo Plaza saja namun telah menyebar di jalan-jalan, dikampus, sekolah bahkan telah masuk kedalam kamar tidur kita. saya tidak akan membicarakan mengenai seberapa jauh proses pencitraan merasuk kedalam tubuh kita, melainkan saya akan membicarakan mengenai sesuatu yang dekat dengan kita, sekumpulan sesuatu yang bersemayam dipikiran kita. Yaitu makhluk bernama bayang-bayang.

Kadang saya bertanya pada diri sendiri apakah saya ( sepotong fisik yang berisi akal, hati nurani, dan hawa nafsu ) sebagai sesuatu yang asli dan memiliki bayang-bayang yang berupa sekumpulan angan yang bersemayam dalam pikiran atau saya ( sepotong fisik yang berisi akal, hati nurani, dan hawa nafsu ) adalah bayang-bayang dari apa yang selama ini kita anggap (bayangkan) sebagai bayang-bayang ?

Karena jangan-jangan kita adalah sebuah bayangan dari hasil rekaan para pemilik outlet baju, sepatu alat-alat olahraga atau mungkin keberadaan kita saat ini adalah hasil dari apa yang dibayangkan oleh orang-orang sebelum kita.

pertanyaan seperti itu harus hadir pada diri kita karena disadari atau tidak kita sering dikuasai oleh makhluk bernama bayang-bayang. Misalnya Jika bayangan tentang uang hadir dalam pikiran kita maka kita akan berusaha mengejar dan mencarinya hingga berkeringat atau bahkan sampai berdarah-darah, bayangan itu telah membuat kita cinta mati dengan apa namanya uang padahal tidak ada uang yang cinta mati pada kita. Disini bayangan tentang uang telah menjadi moneypulator meminjam istilah Jenar Maesa Ayu. Lalu bayangan tentang Indonesia yang adil dan makmur telah memakan begitu banyak korban harta bahkan sampai nyawa, bayangan tentang surga juga berperan besar dalam peledakan-peledakan bom yang membunuh tak sedikit manusia, bayangan tentang defisitnya APBN pun membuat pemerintah kita mencabut subsidi minyak untuk rakyat dan masih banyak contoh lainnya.

Kita kadang tak pernah merasa puas dengan sesuatu hal yang telah kita dapatkan karena bayang-bayang telah menarik kita untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari apa yag telah kita dapatkan dan ketika kita merasa kehilangan harapan atau ketika kita merasa jatuh, bayang-bayang membuat kita bersemangat lagi karena bayang-bayang hadir dengan wajah yang indah dan menyenangkan.

Tulisan ini hanya ingin mengajak kita semua merenungkan betapa luarbiasanya pengaruh bayang-bayang dalam kehidupan umat manusia. Bayang-bayang telah menguasai kehidupan manusia. Manusia akan melakukan apa saja demi bayang-bayang. Permasalahannya bukan bagaimana kita menghilangkan bayang-bayang yang telah mensubordinasikan kita tetapi bagaimana mendudukan bayang-bayang sesuai dengan porsinya karena bayang-bayang dan manusia adalah dua entitas yang tak dapat dipisahkan. Saya teringat apa kata shindunata bahwa bayang-bayang itulah kenyataan yang selalu menyertai hidup manusia. Bisa jadi bayang-bayang itu adalah lamunannya, impiannya atau cita-citanya tapi bisa juga bayang-bayangnya itu adalah kegagalannya, kesia-siaannya atau kesedihannya. Manusia tak mungkin ada tanpa bayang-bayangnya. Dimanapun ia berada, kemanapun ia mengembara, bayang-bayang itu tak mungkin lepas dari hidupnya (bayang-bayang, Sudiarja, 2003).