Minggu, 16 November 2008

CAT IN MY MIND

[Celoteh untuk Cat In My Eyes: buku karya teman yang layak untuk di beli]



“Ngiau…ngiau…ngiau”. Eiits…ini bukan suara Sutardji Calzoum Bachri ketika membacakan puisinya. Suara ini datang dari luar kamarku yang kututup rapat-rapat. Kubuka pintu kamar kulihat seekor kucing cantik berwarna tiga rupa. Tapi Astaga!!! matanya hilang satu. Kuambil sisa makan malam dan kuberikan ke kucing cantik bermata satu itu. Pintu kututup kembali.

Cat In My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa. Sebuah buku yang ditulis oleh Fahd Djibran seorang teman kuliah, kawan diskusi, dan [sepertinya] guru menulis bagiku. Buku ini benarbenar memaksaku untuk bertanya sebelum membacanya.

Bermula

malammalam aku datang ke salah satu toko buku di Yogya. Kucaricari buku bersampul biru dengan kucing hitam mematung di depannya. Langsung saja jari tanganku menari di atas keyboard computer di toko buku itu. Cat In My Eyes, Fahd Dijbran, Gagas Media, B3.05.00 stock 1. Sesegera mungkin aku menuju rak buku B3.05.00 ini, tapi masih saja aku tak menemukannya. Dengan raguragu aku tanyakan ke salah satu petugas toko buku, kemudian di carikan olehnya, dicaridicari dan dicari masih saja kucing yang satu ini belum ketemu. Petugas toko buku ini mengajak petugas yang lain untuk mencarikannya. Astaga!!! Baru kali ini aku mencari buku dibantu oleh dua petugas. Dicaricari dan dicari masih tetap tak ketemu. Saat itu sempat aku berpikir nakal “Janganjangan kucingnya Fahd yang tinggal satu di toko buku itu dicuri oleh Chairil Anwar kecil”. Kemudian aku dikagetkan oleh suara petugas toko tersebut. “maaf mas, Cat In My Eyes nya habis, kita sedang pesan, mungkin minggu depan sudah ada”. Karena malam telah begitu menghitam maka kuputuskan pulang saja dan meneruskan petualangan mencari kucing lagi.esok, di tempat lain. Cat still In My Mind.

Kemudian

Hari ke dua pencarianku. Aku sms si penulis “kang, aku dh ktko buku…tapi kehbsan. Dimn lg ak hrs mendptknnya?”. “Cb ke…sepertinya disna msh ada”. Balasnya. Langsung saja aku menuju ke toko buku tersebut, langsung cek ke computer, Cat In My Eyes, stock 0. Masih belum yakin, kutanyakan ke petugas. Ternyata habis. Kemudian aku meluncur ketoko buku yang lain lagi, kutanya petugas. Akhirnya ditunjukanlah keberadaan si kucing yang sedang memagut di rak buku. Sebelum membacanya, Cat In My Eyes benarbenar membuatku bertanya kesana kemari.

Setelah membacanya

Dalam ngiau Cat In My Eyes saya menemukan dua Fahd [bahkan lebih]. Fahd remaja dan Fahd Dewasa mungkin masih ada lagi, Fahd abuabu. Dia bisa saja tetap di udara [di dunia antara] tapi terkadang juga menjadi bagian sisi koin yang terlempar. Fahd remaja dan Fahd dewasa bukanlah kategori mutlak, hanya sekedar untuk memudahkan. Memutlakan kategori adalah mereduksi realitas karena bisa jadi yang remaja memiliki unsur kedewasaan, dan yang dewasa itu memiliki unsur remaja. Kategori ini hanya untuk membagi detik dan detak perjalanannya.

Fahd remaja terlukis manis pada karyakaryanya seperti Tubuh, A Cat In My Eyes,Everybody’s Happy in his own way, A Cat In Your Eyes, dan Dendam. Dan Fahd Dewasa tergambar jelas pada labirin, Matamu yag sepi, Fragmen Malam, Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan, 5 untuk bunda, Gaia yang sakit, Hujan, Rindu, Skizofrenia, Keberag[a]aman, Satori. Dan bagi yang tak tersebut masuk kedalam Kategori Fahd abuabu.

Dalam Rindu, Fahd benarbenar memberi kejutan, hal-hal sederhana seperti mengucap “kangen” ternyata melalui proses panjang dalam otak. Tapi saya kecewa ketika di bawahnya kulihat footnote mengenai apa itu limbik dan amigdala. Sebagai seorang pembaca saya merasa dihakimi untuk langsung mengetahui maksud dari tulisan itu seketika itu juga [seperti dipaksa untuk cepat orgasme], pembaca seakan-akan tak diberi ruang untuk merenung atau mencari.
Tulisan yang paling membuat saya kasmaran dengan buku ini ialah membencimu dan cinta, masa lalu, dan sepotong kue bolu. Saya kutip membencimu :

Serupa cuaca, aku mencintaimu, selalu terikat waktu Serupa udara, aku menyayangimu, selalu terikat ruang Serupa hujan, aku membencimu, sewaktuwaktu

Benarbenar memikat rasa.

Selain rasa, Cat In My Eyes juga membuat pikiranku menggelinjang, ketika membaca Skizofrenia, keber[a]agaman, satori dan labirin. Salut. Nilai lebih dari buku ini ialah telah menghadirkan sesuatu yang lain, Canda Spiritual saya menyebutnya. Dalam beberapa pengajian agama yang pernah saya ikuti sering terdengar dogma bahwa bahwa agama jangan untuk bercanda, atau untuk bahan guyonan, tapi membaca tulisan tentang kemanakah kau siang tadi, Tuhan?, Percakapan yang harus [terus menerus]tertunda, serta pertanyaan untuk J, membuat saya yakin bahwa beriman itu indah dan semakin yakin bahwa bertanya tak membuat orang berdosa.

Pada Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan, tulisan ini menyentak kesadaran, namun lagilagi aku harus kecewa, ada yang mengganjal ketika Fahd mengutip seperti apa yang tertera di kitab suci, saya menjadi merasa ini sekedar tese-tese teologis bukan lagi karya sastra. Sebenarnya tak masalah mengambil inspirasi dari kitab suci tapi alangkah baiknya ketika menghadirkannya dengan bahasa yang unik dan khas. Karena apa yang tertera di kitab suci telah menjadi pengetahuan umum.

Skizofrenia juga telah melemparku kedalam ruang sunyi menjadi si gila. Benarbenar melarutkan. Tapi di Skizofrenia juga, Fahd tak bisa lepas dari oposisi biner yang ia tentang, seperti masih membagi normal-dan ketidaknormalan, miskin-kaya, gila-waras, dalam hal-hal itu, tak kutemukan sebuah dunia fusi sinergis yang harmonis.

Satu hal yang perlu dan menarik untuk diperhatikan adalah adanya kesamaan antara kelahiran Fahd dengan terbitnya buku Cat In My Eyes yaitu samasama lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.

Setelah membeli [dengan Harga Eceran Tertinggi] dan membaca

Ada rasa senang, puas dan sesal. Senang karena seorang kawan masih berkarya, puas karena isinya begitu menggairahkan, menyentuh, memikat dan sampulnya keren, Sesal, karena aku membelinya, mengapa tidak aku curi saja buku ini ketika di toko buku, kalaupun aku harus tertangkap tangan oleh satpam dan ia mengacungkan pentungan ke arahku aku punya jawabannya: Salam, Haleluya, Om Shanti Shanti Om, Shalom…

“Ngiau…ngiau…ngiau”. Eiits…ini bukan suara kucing bermata satu. Suara ini datang dari bukunya Fahd Djibran yang meminta ditaruh di tempat yang layak karena takut terinjak. Diamdiam kuikuti Goenawan Muhammad pada album MIGUEL DE COVAROBIAS Akan kuletakan sintalmu//pada tubir meja: //telanjang //yang meminta.

1 komentar:

yoan agustin mengatakan...

kaka, bisa minta alamat emailnya gak ? penting