Masih saja ia sendiri menggoda, mengaduk-aduk hasratku untuk mengadah menampung sinarnya yang keperak-perakan. Demikian terang seterang kemarau yang membuat kerongkonganku meranggas hingga haus menjadi pilihan. Aku duduk diam terpukau pada bulat wajahnya, di antara titik pergantian menit menuju jam yang baru.
Aku menimbang-nimbang, daripada aku sibuk memotong kuku lebih baik kubuat saja puisi dan berharap suatu hari nanti ia akan menjelma rintik hujan yang jatuh dekat jendela kamarmu mengabarkan apa saja yang berdetak di dadaku. Dan menjadi arus sungai yang mengalir di sebelah utara rumahmu, membawa pesan betapa kerontangnya hari-hariku tanpa linang airmata bahagiamu. Akupun berharap- puisipuisiku menjelma angin, dengan desahnya ia mampu melukis segala inginku dalam ingatanmu.
Butuh berapa warna untuk melukis wajah bulan? Aku hendak bertanya padamu. Sekedar mengingatkanmu. Fajar akan hadir memberi terang pada malam yang pekat, dan mengganti sinar bulan yang keperakperakan dengan warna merah matahari. Segalanya akan berganti. Segalanya akan berganti.
Aku, disini di sempit waktu. Masih saja mencaricari jawab dari Tanya-tanya yang tercipta, dan mencipta Tanya-tanya dari apa yang tak terjawab. Masih saja seperti dulu, ketika malam larut aku sibuk mempersiapkan segala keperluan, karena tiap pagi aku akan mengusungmu menjadi embun pada dahan sajak-sajakku.
Apakah kau juga melihat purnama itu kekasih?
Minggu, 16 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar