Minggu, 16 November 2008
CAT IN MY MIND
“Ngiau…ngiau…ngiau”. Eiits…ini bukan suara Sutardji Calzoum Bachri ketika membacakan puisinya. Suara ini datang dari luar kamarku yang kututup rapat-rapat. Kubuka pintu kamar kulihat seekor kucing cantik berwarna tiga rupa. Tapi Astaga!!! matanya hilang satu. Kuambil sisa makan malam dan kuberikan ke kucing cantik bermata satu itu. Pintu kututup kembali.
Cat In My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa. Sebuah buku yang ditulis oleh Fahd Djibran seorang teman kuliah, kawan diskusi, dan [sepertinya] guru menulis bagiku. Buku ini benarbenar memaksaku untuk bertanya sebelum membacanya.
Bermula
malammalam aku datang ke salah satu toko buku di Yogya. Kucaricari buku bersampul biru dengan kucing hitam mematung di depannya. Langsung saja jari tanganku menari di atas keyboard computer di toko buku itu. Cat In My Eyes, Fahd Dijbran, Gagas Media, B3.05.00 stock 1. Sesegera mungkin aku menuju rak buku B3.05.00 ini, tapi masih saja aku tak menemukannya. Dengan raguragu aku tanyakan ke salah satu petugas toko buku, kemudian di carikan olehnya, dicaridicari dan dicari masih saja kucing yang satu ini belum ketemu. Petugas toko buku ini mengajak petugas yang lain untuk mencarikannya. Astaga!!! Baru kali ini aku mencari buku dibantu oleh dua petugas. Dicaricari dan dicari masih tetap tak ketemu. Saat itu sempat aku berpikir nakal “Janganjangan kucingnya Fahd yang tinggal satu di toko buku itu dicuri oleh Chairil Anwar kecil”. Kemudian aku dikagetkan oleh suara petugas toko tersebut. “maaf mas, Cat In My Eyes nya habis, kita sedang pesan, mungkin minggu depan sudah ada”. Karena malam telah begitu menghitam maka kuputuskan pulang saja dan meneruskan petualangan mencari kucing lagi.esok, di tempat lain. Cat still In My Mind.
Kemudian
Hari ke dua pencarianku. Aku sms si penulis “kang, aku dh ktko buku…tapi kehbsan. Dimn lg ak hrs mendptknnya?”. “Cb ke…sepertinya disna msh ada”. Balasnya. Langsung saja aku menuju ke toko buku tersebut, langsung cek ke computer, Cat In My Eyes, stock 0. Masih belum yakin, kutanyakan ke petugas. Ternyata habis. Kemudian aku meluncur ketoko buku yang lain lagi, kutanya petugas. Akhirnya ditunjukanlah keberadaan si kucing yang sedang memagut di rak buku. Sebelum membacanya, Cat In My Eyes benarbenar membuatku bertanya kesana kemari.
Setelah membacanya
Dalam ngiau Cat In My Eyes saya menemukan dua Fahd [bahkan lebih]. Fahd remaja dan Fahd Dewasa mungkin masih ada lagi, Fahd abuabu. Dia bisa saja tetap di udara [di dunia antara] tapi terkadang juga menjadi bagian sisi koin yang terlempar. Fahd remaja dan Fahd dewasa bukanlah kategori mutlak, hanya sekedar untuk memudahkan. Memutlakan kategori adalah mereduksi realitas karena bisa jadi yang remaja memiliki unsur kedewasaan, dan yang dewasa itu memiliki unsur remaja. Kategori ini hanya untuk membagi detik dan detak perjalanannya.
Fahd remaja terlukis manis pada karyakaryanya seperti Tubuh, A Cat In My Eyes,Everybody’s Happy in his own way, A Cat In Your Eyes, dan Dendam. Dan Fahd Dewasa tergambar jelas pada labirin, Matamu yag sepi, Fragmen Malam, Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan, 5 untuk bunda, Gaia yang sakit, Hujan, Rindu, Skizofrenia, Keberag[a]aman, Satori. Dan bagi yang tak tersebut masuk kedalam Kategori Fahd abuabu.
Dalam Rindu, Fahd benarbenar memberi kejutan, hal-hal sederhana seperti mengucap “kangen” ternyata melalui proses panjang dalam otak. Tapi saya kecewa ketika di bawahnya kulihat footnote mengenai apa itu limbik dan amigdala. Sebagai seorang pembaca saya merasa dihakimi untuk langsung mengetahui maksud dari tulisan itu seketika itu juga [seperti dipaksa untuk cepat orgasme], pembaca seakan-akan tak diberi ruang untuk merenung atau mencari.
Tulisan yang paling membuat saya kasmaran dengan buku ini ialah membencimu dan cinta, masa lalu, dan sepotong kue bolu. Saya kutip membencimu :
Serupa cuaca, aku mencintaimu, selalu terikat waktu Serupa udara, aku menyayangimu, selalu terikat ruang Serupa hujan, aku membencimu, sewaktuwaktu
Benarbenar memikat rasa.
Selain rasa, Cat In My Eyes juga membuat pikiranku menggelinjang, ketika membaca Skizofrenia, keber[a]agaman, satori dan labirin. Salut. Nilai lebih dari buku ini ialah telah menghadirkan sesuatu yang lain, Canda Spiritual saya menyebutnya. Dalam beberapa pengajian agama yang pernah saya ikuti sering terdengar dogma bahwa bahwa agama jangan untuk bercanda, atau untuk bahan guyonan, tapi membaca tulisan tentang kemanakah kau siang tadi, Tuhan?, Percakapan yang harus [terus menerus]tertunda, serta pertanyaan untuk J, membuat saya yakin bahwa beriman itu indah dan semakin yakin bahwa bertanya tak membuat orang berdosa.
Pada Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan, tulisan ini menyentak kesadaran, namun lagilagi aku harus kecewa, ada yang mengganjal ketika Fahd mengutip seperti apa yang tertera di kitab suci, saya menjadi merasa ini sekedar tese-tese teologis bukan lagi karya sastra. Sebenarnya tak masalah mengambil inspirasi dari kitab suci tapi alangkah baiknya ketika menghadirkannya dengan bahasa yang unik dan khas. Karena apa yang tertera di kitab suci telah menjadi pengetahuan umum.
Skizofrenia juga telah melemparku kedalam ruang sunyi menjadi si gila. Benarbenar melarutkan. Tapi di Skizofrenia juga, Fahd tak bisa lepas dari oposisi biner yang ia tentang, seperti masih membagi normal-dan ketidaknormalan, miskin-kaya, gila-waras, dalam hal-hal itu, tak kutemukan sebuah dunia fusi sinergis yang harmonis.
Satu hal yang perlu dan menarik untuk diperhatikan adalah adanya kesamaan antara kelahiran Fahd dengan terbitnya buku Cat In My Eyes yaitu samasama lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.
Setelah membeli [dengan Harga Eceran Tertinggi] dan membaca
Ada rasa senang, puas dan sesal. Senang karena seorang kawan masih berkarya, puas karena isinya begitu menggairahkan, menyentuh, memikat dan sampulnya keren, Sesal, karena aku membelinya, mengapa tidak aku curi saja buku ini ketika di toko buku, kalaupun aku harus tertangkap tangan oleh satpam dan ia mengacungkan pentungan ke arahku aku punya jawabannya: Salam, Haleluya, Om Shanti Shanti Om, Shalom…
“Ngiau…ngiau…ngiau”. Eiits…ini bukan suara kucing bermata satu. Suara ini datang dari bukunya Fahd Djibran yang meminta ditaruh di tempat yang layak karena takut terinjak. Diamdiam kuikuti Goenawan Muhammad pada album MIGUEL DE COVAROBIAS Akan kuletakan sintalmu//pada tubir meja: //telanjang //yang meminta.
Masih tergeletak purnama malam ini
Aku menimbang-nimbang, daripada aku sibuk memotong kuku lebih baik kubuat saja puisi dan berharap suatu hari nanti ia akan menjelma rintik hujan yang jatuh dekat jendela kamarmu mengabarkan apa saja yang berdetak di dadaku. Dan menjadi arus sungai yang mengalir di sebelah utara rumahmu, membawa pesan betapa kerontangnya hari-hariku tanpa linang airmata bahagiamu. Akupun berharap- puisipuisiku menjelma angin, dengan desahnya ia mampu melukis segala inginku dalam ingatanmu.
Butuh berapa warna untuk melukis wajah bulan? Aku hendak bertanya padamu. Sekedar mengingatkanmu. Fajar akan hadir memberi terang pada malam yang pekat, dan mengganti sinar bulan yang keperakperakan dengan warna merah matahari. Segalanya akan berganti. Segalanya akan berganti.
Aku, disini di sempit waktu. Masih saja mencaricari jawab dari Tanya-tanya yang tercipta, dan mencipta Tanya-tanya dari apa yang tak terjawab. Masih saja seperti dulu, ketika malam larut aku sibuk mempersiapkan segala keperluan, karena tiap pagi aku akan mengusungmu menjadi embun pada dahan sajak-sajakku.
Apakah kau juga melihat purnama itu kekasih?
Senin, 27 Oktober 2008
heteroglosia
Mungkin aku masih terlalu muda untuk memetik buah peristiwa dan menjadikannya sebatang sajak atau seikat puisi. Aku hanya memungut tiap keping kata yang terucap lamat dari celah bibirmu dan membakarnya hingga gosong di kepalaku.
Tanpa sepengetahuanmu
aku ingin bersulang dengan dua cangkir kopi dan kita berbagi rokok, aku sebatang dan kau sebatang, apakah kau tau ada cinta dalam sebatang rokok? Ada senggama antara tembakau dan api yang mampu melahirkan anak jadah bernama asap. Aku ingin melihat sebatang rokok bersemayam di sela-sela bibirmu, karena ia akan membangunkan kesadaran tentang kefanaan hidup, bahwa hidup senihil asap. Melesat. Hilang begitu saja.
Suatu ketika aku pernah mengutuki senja (yang entah, akhir-akhir ini sering namanya kucuri untuk dijadikan puisi), padanya aku pernah bertanya mengapa ia rela menjadi dinding pemisah waktu, siang dan malam, terang dan gelap ada dan tiada. Senja yang kukutuki itu hanya diam seribu puisi. Hening. Dan tetap tenang memamerkan cahayanya yang bagiku berwarna seperti air seni, pikiranku melenting-lenting dan terkapar sadar, bahwa setiap batas ada kehidupannya masing-masing, seperti hitam dan putih selalu ada batas bernama abu-abu, goa dan dunia luar kadang berhias dengan batas bernama jejaring laba-laba. setiap batas mampu mengurai artinya masing-masing, begitupun senja. Keterplantingan pikiranku telah membawaku pada kesadaran bahwa senja bukanlah dinding pemisah waktu, tetapi senja adalah waktu itu sendiri.
Keringkan dulu rambutmu
lalu berceritalah tentang Tuhan, cinta dan kemanusiaan. Bagimu tiga hal ini apakah sehimpun kata atau seikat kata? Terkadang aku gemas, pada tingkah polah sekawanan manusia yang mendaku sebagai sekutu Tuhan tapi pada tiap langkahnya mengubur cinta dan kemanusiaan.
Kali ini tentang jarak membincang kekasih yang jauh di mata tapi (mungkin) dekat di hati adalah hal panjang-rumit yang kadang kala harus kita urai. Apakah bisa kita membuat rumus seperti ini ( 1 hembusan nafas = jarak – 1 cm) sehingga semakin lama terpisah pada hakikatnya adalah semakin mendekat, semkin tak berjarak, semakin leluasa tubuh merengkuh. apakah karena jarak tubuhmu pernah berkeringat resah lalu seluruh pori-porimu terbenam?
Kuberi kau sepotong puisi berselai kata
nafas retak/pada celahnya tersembul harapan/bukan harapan kecil dalam sekotak luka/melainkan harapan yang mengabadi/harapan yang mengakar sunyi/ pada tebing-tebing sejarah/pada tubir-tubir waktu/
tulislah setiap harapan/ karena dalam tulisan ada keabadiaan/jangan hanya sekedar terucap/ karena apa yang terucap hakikatnya adalah senyap/
Mungkin ada saat aku akan menjajakan puisi-puisiku lagi
Kamis, 16 Oktober 2008
Lagi-lagi cinta tak harus buta
Cinta
Cinta tak harus buta
Tak selamanya buta
Tapi juga
Cinta tak harus melihat
Tak selamanya melihat
Diambil dari “Harapan kecil dalam sekotak luka” karya Fajar RA
Membaca salah satu fragmen perjalanan cinta dari seorang kawan lama bernama Aulia El Hakim yang ia dedahkan dalam Anguish dalam cinta buta, saya menemukan kejujuran yang terdalam dari seorang Aulia El Hakim. Anguish dalam cinta buta ditulis untuk mengungkapkan perasaan dan sekaligus sebagai sanggahan terhadap tulisan dan pernyataan saya tentang cinta tak harus buta.
Anguish dalam cinta buta, hadir dalam persepektif posmo dengan melakukan kritik terhadap kesadaran modern, baginya kesadaran modern telah membentuk takhayul jenis baru. Perjalanan Aulia mengikuti Laju Honda Jazz R 9191 AH (dengan pemgemudi yang masih seperti dulu, rambut lurus dan berkacamata hitam) dianggapnya sebagai suatu yang irasional tetapi nikmat. Baginya apa yang ia lakukan adalah sebentuk Anguish (kegetiran) yang diartikan oleh sarte bahwa Anguish bukanlah sebuah ketakutan terhadap obyek eksternal, namun sebuah kesadaran mengenai perilaku manusia yang tidak dapat diprediksi, bukan juga takhayul (mengkhayal) yang dihasilkan kesadaran modern.
pada Aulia saya salut dengan tradisi permenungannya akan cinta buta, ada pendalaman rasa, dan tak berjarak dari persoalan. Pemilik mobil Honda jazz telah sedemikian rupa menghipnotis perasaan beserta seperangkat jalan pikiran saudara tercinta Aulia. Perasaan-perasaan yang dialami Aulia ini dijadikan landasan untuk meyakini cinta itu buta dan sebagai alat untuk mengkritisi yang terkadang dengan nada sinis terhadap pandangan-pandangan yang berbeda (termasuk pandangan bahwa cinta tak harus buta) khususnya yang mendekati cinta dengan pendekatan rasional.
Anggapan Aulia mengenai cinta, bahwasannya cinta itu buta tak dapat disalahkan namun pandangan Aulia mengenai pendekatan rasional akan cinta adalah hal buruk tak serta merta harus dibenarkan. Dalam hal ini stance saya masih tetap bahwa cinta tak harus buta. Dalam pandangan saya cinta menari diantara tarik ulur rasa dan logika, pada saat tertentu dapat melebur dalam persekutuan perasaan dan rasionalitas. Sebenarnya memandang cinta itu buta dan cinta itu dapat dirasionalkan adalah sama, sama-sama berada dalam kutub yang ekstrem dalam memandang cinta. Cinta tak harus buta berarti juga cinta tak harus rasional. Wilayah abu-abu sebagai wilayah kerja cinta tak harus buta. Posisi pandangan cinta tak harus buta ialah tetap membiarkan segala pandangan tentang cinta (rasa atau logika) tetap tumbuh tanpa harus mengalienasikan salah satunya. Mengulang pertanyaaan saudara Aulia diakhir tulisan tentang anguish dalam cinta buta,”bagaiman pren, tak masalahkan cinta itu buta ?” maka saya menjawab tak masalah, tapi tetap tak harus.
Sehingga pandangan Aulia yang secara langsung maupun tidak langsung mengkategorikan cinta tak harus buta ke dalam pandangan rasional ialah kurang tepat. Disamping rasa salut saya terhadap narasi Aulia tentang proses “pembuntutan” Honda Jazz yang terasa cukup dalam, ada hal yang cukup disayangkan, ialah ketika ia menghentikan pembuntutan tanpa melakukan proses pendekatan selanjutnya. Disini Aulia terlihat seperti melakukan onani rasa, hanya sekejap dan dinikmati sendiri.
Saya menaruh curiga jangan-jangan cinta butamu adalah pengaruh pukulan bertubi-tubi yang dilesakkan ke wajahmu?
Senin, 04 Agustus 2008
Beragama di tengah lautan prasangka
“wahai orang-orang beriman, jauhilah banyak berprasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” (Q. 49:12)
Satu minggu yang lalu tepatnya hari jum’at 25 juli, saya melaksanakan sholat Jum’at di salah satu masjid di Yogyakarta. Ada yang menarik di masjid yang bisa dikatakan sederhana itu. Khutbah Jum’at pada waktu itu membahas mengenai keberadaan Islam Liberal. Perlu diketahui bahwa sebelum saya berangkat ke masjid saya sempat mendengar salah satu lagu milik the changcuters yang berjudul racun dunia. Kalau boleh merangkum dengan kalimat kurang dari lima kata maka saya menyimpulkan bahwa isi dari khutbah itu adalah Islam Liberal : racun dunia.
Mengapa islam liberal adalah racun dunia ? karena menurut pengkhutbah, islam liberal mengusung penyakit Sepilis yaitu sekulerisme, pluralism dan liberalism yang berbahaya bagi umat islam. Dan pengkhutbah tersebut mewanti-wanti kepada para jamaah sholat jumat agar berhati-hati karena virus ini telah menyebar di dua ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (saya melihat ini bukanlah seruan moral tetapi lebih pada seruan yang cenderung politis).
Selain itu juga para jama’ah diharapakan menjauhi Jaringan Islam Liberal yang digawangi oleh Ulil Absor Abdalla yang yang saat ini sedang disekolahkan di Amerika untuk mengobok-obok Islam ketika sekembalinya ke Indonesia. Pengkhutbah (semoga di rahmati oleh Alloh SWT) juga mengatakan bahwa Nurkholish madjid sebagai penggagas islam liberal di Indonesia ketika meninggal tubuhnya gosong walaupun ditambah dengan kata ‘konon’. Mungkin pengkhutbah ini terlalu banyak menonton sinetron-sinetron semacam rahasia illahi. Dalam khutbah Jumat itu juga membahas mengenai pemurtadan di UIN.
Hal-hal semacam ini adalah fenomena gunung es, memang menjadi hal yang wajar jika didekati dengan pendekatan psikologi. Saat ini keberadaan umat islam sedang tertekan, berada dibarisan belakang peradaban sehingga ketika melihat segala sesuatu tidak dapat berpikir dengan jernih, seakan-akan gelap mata.
Jika kita mau menengok beberapa bulan ke belakang, ketika terjadi kerusuhan di monas, argumentasi apa yang di keluarkan oleh sebagian umat islam ? mereka menganggap peristiwa itu telah di setting pihak barat yang diwakili Amerika serikat. Teori serampangan bukan ? mundur beberapa tahun kebelakang, ketika tragedi 11/9 terjadi, banyak yang menganggap bahwa itu adalah hasil konspirasi yahudi dan masih banyak lagi argumen-argumen yang mengkambing hitamkan barat. Walaupun banyak kebijakan barat yang pantas dikritisi.
Beberapa hari setelah sholat jum’at itu, saya mencoba mengkonfirmasi ke blog milik Ulil Absor abdalla, justru yang saya temukan justru artikel mengenai pentingnya memberikan akses bagi kaum diffable (berdaya beda) dan banyak artikel ulasan politik dalam negri serta catatan sederhana tentang kehidupan di Amerika.
Umat islam saat ini membutuhkan pemikiran-pemikiran cemerlang yang mampu memberi pencerahan tanpa paksaan bukan khutbah-khutbah dogmatis yang justru menggelapkan mata dan menengelamkan umat Islam kedalam lautan prasangka. Wallahu’a lam bishawab.
Kamis, 10 Juli 2008
Dan Tuhan pun ikut bermain dadu
Udara malam di kota saya begitu dingin, saya dan seorang kawan lama saya memutuskan untuk duduk-duduk sambil minum kopi di suatu tempat. Di tempat itu tersedia beberapa permainan untuk menemani kami mium kopi. Awalnya kami akan berceloteh mengenai suatu makalah tentang Sejarah filsafat Islam dan pemikiran Islam serta isu-isu kontemporer. Tapi karena di tempat itu tidak ada penerangan yang dapat memungkinkan untuk membaca maka kita memutuskan untuk mengambil permainan itu.
Ada dua permainan yang disediakan pertama adalah catur dan kedua adalah ular tangga. Sebelum kami menuju tempat ini kami lama berbincang mengenai pluralism maka kami memutuskan mengambil permainan ular tangga karena setiap kotak di papan itu menyediakan warna yang berbeda-beda hal ini berbeda dengan papan catur yang hanya menyediakan dua warna hitam dan putih dan itu cukup membosankan. Selain itu juga karena kami tidak layak untuk dikatakan bisa bermain catur.
Sebelum permainan di mulai kami bersepakat untuk melakukan dekonstruksi permainan. Pertama ialah kita memulai permainan dari angka 100 menuju angka 1 tidak seperti biasanya permainan ular tangga di mulai dari angka 1 menuju 100. Artinya bahwa hidup kita dimulai dari segala sesuatu yang beraneka rupa dan hanya akan menuju pada yang satu. Yang kedua adalah jika permainan ular tangga biasa, siapa yang mendapat mata dadu 6 maka mempunyai privilege yaitu mendapatkan kesempatan mengundi dadu sekali lagi namun dalam aturan permainan kami justru yang mendapatkan privilege adalah jika kita mendapatkan mata dadu 1. Karena jika kita mendapatkan mata dadu enam dan mendapat privilege maka akan berbenturan dengan asas keadilan yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Ketiga ialah jika medapatkan ular maka akan mendapatkan bonus naik ke strata yang lebih tinggi sesuai aturan yang telah ditentukan namun jika bertemu dengan tangga maka akan membuat turun/ jatuh sesuai strata yang telah di tentukan, jika dalam permainan normal (dalam pandangan mainstream) mendapatkan tangga akan naik dan mendapatkan ular maka akan turun namun logika ini akan berlawanan dengan peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga.
Kemudian kami pun memulai permainan, pada awalnya saya sempat tertinggal jauh dari teman saya, saya pernah hampir menyalipnya( saya mendapatkan kesempatan melangkah dua kali namun saya bilang tiga karena saya akan mendapatkan ular dan secara otomatis saya naik) namun saya mengurungkannya dan mengakui bahwa saya hanya mendapat mata dadu 2 kemudian saya katakan pada teman saya bahwa kamu adalah gambaran masyarakat Indonesia mudah di tipu dan kurang kritis. Untung teman saya tidak mengatakan saya adalah gambaran pejabat Negara Indonesia yang mudah memanipulasi angka. Disela-sela permainan ular tangga, kami sesekali menyeruput mocca late dengan didampingi pisang coklat (sebenarnya kami tidak memesan pisang coklat tapi kentang goreng) namun pelayan salah membaca pesanan kami.
Permainanpun masih berlanjut, karena kita bermain diatas meja bambu yang tidak rata kadang dadu berdiri tak sempurna sehingga dapat di baca dari dua arah, arah saya dan arah teman lamaku ini. Sehingga kita menggunakan pendekatan hermeneutika. Yaitu menempatkan pengundi dadu, dadu, dan pembaca mata dadu. Sehingga kebenaran di serahkan pada pengundi dadu, kebetulan karena saya lah yang berposisi sebagai pemain dan pengundi dadu maka saya memiliki otoritas dalam pembacaan mata dadu. kadang kita jatuh tertimpa tangga namun kadang kita terbang bersama ular ajaib. Saat mulai mendekati strata tertinggi dalam permainana ular tangga kami selalu jatuh tertimpa tangga (seperti terjebak dalam vicious circle). Di dalam strata tertinggi di permainaan ular tangga ini terdapat dua tangga yang akan membuat kita terjatuh. Kita hampir putus asa untuk melanjutkan permainaan karena kita selalu jatuh dan jatuh. Mungkin inilah yang dirasakan orang-orang yang bunuh diri karena tekanan hidup. Akhirnya teman saya punya ide untuk berdoa, bahwa dalam setiap kebuntuan maka harus kembali pada Tuhan kembali pada sesuatu diluar kekuatan manusia.
Saat sudah mendekati strata tertinggi teman saya lupa membaca doa dan akhirnya mendapatkan mata dadu enam dan turun dengan tangga menuju hampir setengah halaman ular tangga(dia anggap masih jauh jadi belum perlu berdoa). Begitupun juga saya masih sering jatuh tertimpa tangga, dan akhirnya kami pun mampu naik kembali ke strata paling tinggi dalam permainan ini, sebelum menghadapi kotak yangdapat menurunkan kita, kita pun berdoa dan sesuatu yang luar biasa kita mampu melewati kotak maut tersebut. Dan teman saya berdoa kembali untuk dapat mencapai finish (sebenarnya dalam papan ular tangga tertulis kata : mulai). Karena dia membutuhkan mata dadu 2 untuk mencapai finish dan diapun berdoa meminta mata dadu 2 akhirnya benar yang keluar adalah mata dadu 2 dan diapun memenangkan permainan itu. Kemudian saya ikut berdoa karena tinggal giliran saya, saya membutuhkan angka 6 namun saya tidak menyertakan angka enam dalam doa saya karena saya pikir Tuhan maha Tahu. Akhirnya yang keluarpun angka enam dan saya dapat sampai finish. Walaupun harus kalah.
Menarik bermain ular tangga ini karena kita dapat menghargai pluralisme, berbeda-beda agama tetapi pada hakikatnya menuju pada yang satu, kita belajar melakukan pembacaan hermeneutik, melakukan dekonstruksi terhadap aturan, menggunakan local wisdom dalam perjalanan hidup salah satu bentuknya ialah menggunakan peribahasa bijak, belajar tentang kesabaran dan kejujuran, dan yang paling penting bahwa ada kesadaran mengenai kekuatan diluar manusia sehingga dalam hidup memerlukan doa.
Untuk teman lama saya semoga kita dapat bertemu kembali dan bermain dalam pikiran-pikiran. Seperti pembicaraan kita dulu saat masih duduk di bangku SMA bahwa masalah tidak harus untuk langsung dihadapi, namun juga tidak langsung untuk dihindari namun kita harus keluar dari masalah dan memproyeksikannya dari luar baru memutuskan apakah kita harus lari atau menyelami masalah. Melihat permainan ular tangga saya teringat buku Gunawan Muhammad yang berjudul Tuhan dan hal-hal yang tak selesai. Jika belajar dari permainan ular tangga saya berharap di suatu waktu dapat menulis buku berjudul Tuhan dan segala sesuatu yang harus cepat-cepat di selesaikan.
Selasa, 08 Juli 2008
Madina, majalah alternatif
Bermula ketika beberapa bulan terakhir, saya harus pulang ke kampung halaman di Purwokerto (Sebuah kota kecil di Jawa Tengah). Disela-sela waktu saya iseng mencari bacaan-bacaan di perpustakaan pribadi orang tua saya. Saya menemukan beberapa eksemplar majalah-majalah saya diwaktu kecil seperti majalah bobo kemudian majalah remaja seperti HAI dan majalah-majalah favorit pada saat saya duduk di bangku SMA yaitu SABILI. saya membaca ulang majalah yang satu ini karena cover depannya cukup fantastik “tolak presiden salib” lalu ada lagi judul “Strategi salib kuasai pemilu”. Ketika memegang majalah ini saya teringat pesan salah satu dosen saya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang menyarankan membaca majalah ini, beliau mengatakan” sekali-kali bacalah sabili jangan hanya baca kompas dan tempo saja” mungkin suatu saat saya harus mengatakan pada umat Islam”yang mengaku paling beriman” jangan hanya baca Sabili sekali-kali bacalah tempo atau kompas. Majalah seperti sabili Dari judul-judulnya saja sangat provokatif dan berperan besar mempengaruhi Psikologi pembacanya dalam memandang suatu masalah, selalu dikotomik. Benar dan salah, mukmin dan kafir dan sebagainya.
Selain majalah-majalah tersebut saya juga membaca majalah-majalah koleksi orang tua seperti As-shunnah, Al- Furqon, As-Silm, Umi dan gerimis yang menjadi majalah mayoritas di rak buku milik orang tua saya. Tapi isinya tak jauh beda dari majalah yang telah disebutkan diatas. Masih memandang segalanya dikotomik dan cenderung selalu menyalahkan. Kemudian di kota Purwokerto ini saya jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Saya melihat majalah madina, (sebenarnya bukan yang pertama kali melihat tapi pertama kali melihat dengan membawa uang yang cukup untuk membelinya). Dan akhirnya saya memutuskan membelinya, saya membeli madina edisi bulan Juni dan saya melewatkan 5 edisi sebelumnya.
Saya tertarik membeli madina karena cover depannya memuat 25 tokoh Islam Damai. Karena isu mengenai kekerasaan atas nama agama mulai muncul kembali di Negara kita Indonesia. Ini menjadi media alternatif di tengah menjamurnya media-media Islam yang antagonistik terhadap modernitas. Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari majalah madina ini :
Kelebihannya pertama, Lebih menyejukan, karena media ini tidak memprovokasi pembaca untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua, halaman full color, sehingga pembaca tidak hanya menikmati tulisan-tulisannya tetapi juga dapat menikmati gambar-gambar yang disajikan. Ketiga, memberikan perspektif berbeda terhadap suatu masalah. Misalnya dalam edisi bulan Juni 2008 madina mencoba melihat Isu Israel dengan cara pandang berbeda. Madina menyajikan wawancara eksklusif dengan Rabi Yisroel Dovid Weiss yang menganggap bahwa Yahudi Religius adalah anti Zionis. Hal ini menjadi cara pandang baru ditengah-tengah pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel Palestina adalah konflik para fundamentalis agama dan pandangan yang menganggap konflik Israel-Palestina adalah konflik agama antara Islam dan Yahudi. Pandangan baru ini meruntuhkan argumen yang men-generalisasikan orang yahudi itu memusuhi Islam. Keempat ialah berorientasi pada penyebaran paham pluralisme, paham ini diperlukan dalam dunia multikultural seperti saat ini. Kelima, tulisannya cukup ringan sehingga mudah di konsumsi khalayak ramai. Keenam, ini yang paling penting, membela Islam dengan cara yang santun.
Tak ada gading yang tak retak, selain kelebihan-kelebihan diatas majalah Madina ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, harganya yang cukup mahal untuk seorang mahasiswa. Kedua, dalam hal iklan masih relatif sedikit sehingga masih dipertanyakan sustainability majalah ini. Ketiga, minimnya kolaborasi antara fakta sosial dan teks-teks Al-Quran dan Al hadits. Keempat, minimnya ruang untuk opini.
Terlepas dari segala kekurangan, media ini pantas untuk diapresiasi dan dijadikan sebagai media alternatif di tengah hiruk pikuk media yang menawarkan formalisasi Syariat dan konflik atas nama agama. Dan media yang satu ini layak untuk dibaca.